Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengapresiasi konsep Polri Presisi atau prediktif, responsibilitas dan transparansi berkeadilan yang disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, sudah dipraktekkan dalam kasus ujaran rasisme yang diduga dilakukan Ambroncius terhadap Natalius Pigai.
"Bagus, konsep Presisi yang menjadi komitmen Kapolri sudah mulai dilaksanakan dalam kasus ujaran kebencian dan rasisme terhadap Saudara Natalius Pigai, tokoh Papua, mantan anggota Komnas HAM," kata Hidayat Nur Wahid (HNW) dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Hidayat menuturkan, penetapan tersangka terhadap Ambroncius Nababan selaku pimpinan relawan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dapat menjadi tonggak kembalinya kepercayaan masyarakat kepada netralitas dan profesionalitas Polri.
Hal itu menurut dia karena sebelumnya sering ada anggapan di masyarakat bahwa relawan Jokowi bebas menghina atau berperilaku rasis, karena merasa kebal hukum, tidak diproses hukum oleh Kepolisian.
Baca juga: Ketua MPR yakin Kapolri Listyo Sigit mampu wujudkan Polri Presisi
Baca juga: Polri terapkan konsep Presisi kasus ujaran kebencian Natalius Pigai
Baca juga: Komjen Sigit dan Polri yang presisi
"Padahal Presiden Jokowi berkali-kali menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Dan hukum harus diberlakukan dengan benar," ujarnya.
HNW berharap langkah awal yang baik dengan dilaksanakannya janji "Presisi" oleh Kapolri perlu diapresiasi dan didukung bersama untuk membuktikan bahwa hukum ditegakkan secara adil, tanpa adanya tebang pilih.
Karena itu menurut dia sangat penting ditindak juga bagi orang-orang yang melakukan kejahatan tersebut terhadap Natalius Pigai, sebelum dan sesudah yang dilakukan Ambroncius Nababan, bahkan juga terhadap kasus rasisme lainnya, dan kasus hukum lainnya.
"DPP KNPI misalnya melaporkan Permadi Arya (Abu Janda), juga DPP Partai Demokrat juga minta Polisi tangkap Yusuf Leonard Henuk karena kasus serupa. Sebelumnya warga juga banyak yang mengadukan kasus rasisme terhadap Anies Baswedan maupun Habib Rizieq Shihab," katanya.
Politisi PKS itu mengatakan, untuk keseriusan melaksanakan kebijakan "Presisi" dan itu dilakukan dengan konsisten dan karenanya keadilan hukum dipraktekkan, sudah semestinya berbagai laporan masyarakat itu juga diproses secara hukum.
Apalagi menurut dia, instrumen hukum di Indonesia sudah sangat memadai untuk mengusut segala ujaran rasisme tersebut, selain ada KUHP, juga sudah memiliki UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Seharusnya menurut Hidayat, penindakan hukum bukan hanya mencakup kepada ujaran yang menghina ras dan etnis, tetapi juga kelompok orang, misalnya dalam kasus penghinaan santri dan pesantren di Tasikmalaya.
"Sampai saat ini, kasus itu juga masih belum jelas penanganannya. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi Kapolri baru untuk segera menegakkan hukum, agar masyarakat percaya bahwa Polri benar-benar akan bertugas melindungi seluruh masyarakat Indonesia," katanya.
HNW mengatakan, dengan dipraktekkannya "Presisi" untuk kasus rasisme, masyarakat menaruh harapan positif agar komitmen-komitmen Kapolri baru yang disampaikan di depan Komisi III DPR benar-benar dilaksanakan.
Komitmen-komitmen tersebut menurut dia seperti tidak menjadikan Kepolisian sebagai alat kekuasaan, untuk benar-benar berlaku adil dan tegas bahkan bila ada oknum Polisi yang berbuat salah akan ditindak.
"Juga untuk meniadakan apa yang disebut sebagai upeti untuk atasan, tidak akan adanya kriminalisasi ulama, serta akan menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM soal tewasnya laskar FPI. Termasuk janji akan lebih manusiawi dan profesional untuk menjaga marwah dan kedaulatan NKRI," ujarnya.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021