• Beranda
  • Berita
  • Prevalensi kusta pada anak Indonesia 9,14 persen

Prevalensi kusta pada anak Indonesia 9,14 persen

29 Januari 2021 20:17 WIB
Prevalensi kusta pada anak Indonesia 9,14 persen
Mad Napi (61) salah seorang mantan penderita penyakit Kusta bermain bersama cucunya Zaki (8 bulan) di perkampungan penderita Kusta, Sitanala, Neglasari, Tangerang, Banten, Kamis (24/1). Tanggal 25 Januari diperingati sebagai hari Kusta Internasional, Pemerintah saat ini menargetkan pada tahun 2015 jumlah penderita kusta menurun hingga 35 persen dibanding jumlah tahun 2010 lalu. FOTO ANTARA/Lucky.R/ss/pd. (ANTARAFOTO/Lucky.R)

Kalau mereka tidak segera ditemukan dan diobati, itu akan mendapatkan stigma dan diskriminasi seumur hidup.

Kementerian Kesehatan menyebutkan prevalensi penyakit kusta pada anak di Indonesia sebesar 9,14 persen yang dinilai masih tinggi lantaran jauh dari target yang ditetapkan untuk ditekan hingga lima persen.

“Kasus pada anak, harus menjadi perhatian karena mereka akan bersekolah, risiko penularan pada teman-teman di sekolah dan dampak sosial yang ada. Ini harus menjadi perhatian bagaimana kita mengatasinya,” kata Plt Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Maxi Rein Rondonuwu dalam temu media Hari Kusta Sedunia Tahun 2021 yang digelar secara virtual dipantau di Jakarta, Jumat.

Kusta merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (mycobacterium leprae). Kusta menular melalui saluran pernafasan dengan gejala awal ditandai dengan timbulnya bercak merah ataupun putih pada kulit. Apabila tidak diobati, penyakit kusta berpotensi menimbulkan kecatatan yang seringkali menyebabkan diskriminasi baik kepada penderita maupun keluarga.

Baca juga: Penyakit kusta masih tinggi karena kurangnya edukasi masyarakat

Sekretaris Kelompok Studi Morbus Hansen Indonesia (KSMHI) Perdoski dr. Zunarsih Sp.KK menyebutkan penyakit kusta yang tidak segera diobati bisa menimbulkan kecatatan seumur hidup.

“Kalau mereka tidak segera ditemukan dan diobati, itu akan mendapatkan stigma dan diskriminasi seumur hidup. Kalau kondisi tangannya sudah putus-putus, sudah keriting. Bagaimana dia bisa sekolah dengan baik, saat dewasa bagaimana mereka bisa bekerja dengan baik,” kata Zunarsih.

Direktur Penegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid mengatakan Kementerian Kesehatan menerjunkan kader di Puskesmas untuk melakukan penemuan kasus sedini mungkin agar bisa segera diobati. Skrining penyakit kusta dilakukan di rumah, di sekolah, maupun lingkungan sekitar.

“Kami biasanya melakukan pemeriksaan di anak sekolah, ini terintegrasi dengan program UKS. Jika kita temukan anak positif kusta, kita bisa lakukan pemeriksaan kontak khususnya keluarganya atau gurunya di sekolah,” ucap Nadia.

Baca juga: Ahli: Risiko penularan kusta di lingkungan keluarga kecil

Setiap penderita penyakit kusta tipe basah harus minum obat selama 12 bulan, sedangkan untuk tipe kering harus minum obat selama 6 bulan. Untuk itu, kepatuhan penderita mengonsumsi obat adalah kunci menyembuhkan kusta.

Kementerian Kesehatan juga aktif melakukan promosi kesehatan untuk meningkatkan pemahaman bahwa adanya bercak putih maupun merah bukanlah bercak biasa, namun membutuhkan penanganan lebih lanjut di fasyankes.

Program Pencegahan dan Penanggulangan (P2) Kusta kini menjadi Program Prioritas Nasional (Pro-PN) dan pemberian dukungan dana yang memadai bagi pelaksanaan program baik di pusat dan di daerah. Melalui dukungan dana tersebut, daerah-daerah telah melakukan akselerasi upaya-upaya melalui berbagai kegiatan advokasi, sosialisasi, pelatihan, upaya deteksi dini dan penemuan aktif demi tercapainya target Eliminasi Kusta tingkat Kabupaten/Kota tahun 2024.

Baca juga: Kemenkes: kusta masih ditemukan di Indonesia Timur

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2021