Beragam bencana hidrometeorologi kerap muncul ketika musim hujan melanda Indonesia. Tak terkecuali ancaman longsor yang menghantui pemukiman padat yang berada di dataran miring di Jawa Barat.gempa yang tidak bisa diprediksi kapan dan di mana terjadinya
Catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat menyebutkan longsor sudah terjadi sebanyak 852 kali di daerah Jawa Barat sepanjang tahun 2020. Beberapa di antaranya terjadi hingga merenggang nyawa warga.
Belum lagi pada awal tahun 2021 ini, longsor yang terjadi di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, pada Sabtu (9/1), mengakibatkan sebanyak 40 orang meninggal dunia.
Namun kabar baiknya, 40 korban tersebut berhasil dievakuasi oleh Tim Pencarian dan Penyelamatan (SAR) Bandung selama 10 hari proses pencarian.
Satu tahun sebelum itu, peristiwa longsor pun terjadi di Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Januari 2020 lalu. Sebanyak tujuh orang dinyatakan meninggal dunia akibat longsor tersebut.
Meski begitu, peristiwa gerakan tanah atau longsor di daerah Jawa Barat memang tercatat lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan daerah Jawa Tengah.
Dari data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah, tercatat ada 1.387 bencana longsor sepanjang tahun 2020. Artinya lebih banyak 62,7 persen atau 535 peristiwa longsor dibandingkan dengan Jawa Barat.
Walaupun longsor di Jawa Barat jumlahnya lebih sedikit, ada analisa lain yang dikemukakan oleh Peneliti Muda Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Dr Sumaryono.
Menurutnya di Jawa Tengah longsor hanya sering terjadi di sejumah kota atau kabupaten tertentu saja. Sedangkan di Jawa Barat hampir semua kabupaten dan kota memiliki kerawanan longsor.
"Kalau di Jawa Tengah itu biasanya sering terjadi di Banjarnegara, kemudian Purworejo, Kebumen, Banyumas, Brebes," kata Sumaryono saat dihubungi di Bandung, Jawa Barat, Sabtu.
Adapun longsor yang terjadi di Jawa Barat pun berpotensi banyak menelan korban jiwa karena banyak pemukiman yang dibangun di kawasan dataran miring atau lereng terjal.
"Menurut saya masih banyak kerawanan di Jawa Barat, cuma banyaknya kejadian longsor tidak banyak korban, karena gerakan tanahnya lambat, contohnya rumahnya rusak retak, belah, tapi belum longsor," kata Sumaryono.
Selain itu, menurutnya 80 persen perisitiwa longsor itu dipicu oleh adanya hujan deras. Maka di musim hujan yang dipengaruhi fenomena La Nina ini, pemerintah maupun diminta mewaspadai adanya longsor di Jawa Barat.
Berdasarkan catatan PVMBG, dari seluruh 27 kabupaten dan kota di Jawa Barat, hanya tiga daerah yang tidak masuk ke wilayah berpotensi mengalami gerakan tanah. Tiga daerah itu yakni Kabupaten Purwakarta, Kota Depok, dan Kota Tasikmalaya.
Namun, 24 kota dan kabupaten lainnya dinyatakan masuk ke dalam daftar wilayah berpotensi mengalami gerakan tanah. Mulai dari tingkat potensi gerakan tanah Menengah, Tinggi, hingga berpotensi menimbulkan Banjir Bandang.
Sementara itu wilayah Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang yang dilanda longsor hingga menelan 40 korban jiwa itu masuk ke wilayah yang memiliki potensi gerakan tanah Tinggi.
Kendati demikian, BPBD Jawa Barat saat ini hanya menetapkan 14 daerah kabupaten dan kota yang masuk ke dalam kategori bencana risiko Tinggi. Sedangkan 13 kabupaten dan kota lainnya masuk ke dalam kategori risiko bencana Sedang.
Baca juga: Tim SAR masih mencari 11 korban tanah longsor di Sumedang
Baca juga: Longsor Sumedang, Polisi temukan pelanggaran pembangunan perumahan
Mewaspadai bencana hingga tingkat desa
Kepala Pelaksana BPBD Jawa Barat Dani Ramdan mengatakan pemetaan potensi rawan bencana itu menurutnya sudah disusun hingga tingkat desa.
Sehingga, masyarakat diharapkan bisa memahami kondisi kebencanaan di lingkungannya. Karena, kata dia, pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk tetap berwaspada adalah hal yang krusial.
"Hanya gempa yang tidak bisa diprediksi kapan dan di mana terjadinya, tapi kalau banjir, kita lihat dari kondisi alam termasuk banjir rob karena air laut yang naik, Sedangkan tsunami dan gempa tidak bisa diprediksi," kata Dani dalam keterangannya.
Setelah menyusun peta rawan bencana, dia meminta setiap pemerintah daerah tingkat kabupaten atau kota bahkan hingga tingkat desa agar menyusun rencana penanggulangan bencana (RPB) di tingkatan masing-masing.
"Pemerintah desa bisa menyusun, misalnya jalur evakuasi manakala akan berpotensi bencana, tempat evakuasi atau pengungsian," kata dia.
Dengan begitu, menurutnya berbagai jenis bencana akan bisa dihadapi dan ditangani dengan baik. Apalagi, kata dia, jika ditambah dengan kesiapsiagaan personel maupun peralatan.
"Ada yang bisa kita cegah, ada yang tidak bisa, seperti gempa. Tapi kalau kita punya kesiapsiagaan, paling tidak bisa meminimalisir dampak atau risiko," kata Dani.
Baca juga: BIG: Penguatan mitigasi jadi prioritas pascalongsor Sumedang
Baca juga: Tim SAR cari empat orang diduga masih tertimbun longsor di Sumedang
Evaluasi perumahan rawan longsor
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil sejauh ini telah memerintahkan kepada seluruh pemerintah di tingkat kabupaten dan kota untuk mengevaluasi izin maupun struktur perumahan atau bangunan yang berdiri di kawasan rawan bencana setelah adanya peristiwa longsor di Kabupaten Sumedang.
"Saya sudah perintahkan Pemkot dan Pemkab agar mengevaluasi hadirnya rumah-rumah di lahan yang berbahaya," kata Ridwan Kamil di Tasikmalaya, Rabu (20/1).
Kemudian ia juga menyinggung soal banjir bandang yang terjadi di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tidak lama setelah peristiwa longsor di Sumedang.
Menurut dia peristiwa bencana yang hadir bertubi-tubi di Jawa Barat pada awal tahun 2021 ini perlu menjadi perhatian bersama. Apalagi sejumlah bencana tersebut hadir saat pemerintah tengah menangani pandemi COVID-19.
"Terjadinya kebencanaan di Cisarua di Puncak, saya sudah koordinasi dengan Ibu Bupati kemarin, sementara laporan tidak ada korban tapi itu membuat kerusakan secara materi ke rumah-rumah," kata Ridwan Kamil.
Perlu kesadaran masyarakat
Kesadaran masyarakat akan kewaspadaan akan potensi bencana yang kerap hadir di saat musim hujan ini merupakan hal yang mutlak untuk diterapkan.
Dani mengatakan masyarakat dapat melakukan mitigasi bencana, seperti mulai dari rutin memeriksa dan membersihkan saluran-saluran air di lingkungan setempat. Kemudian, kata dia, masyarakat juga dapat memeriksa vegetasi di tebing-tebing guna mengantisipasi longsor.
Jika terjadi retakan tanah atau retakan di tembok penahan, lalu ada aliran air yang merembes, maka menurutnya itu adalah tanda-tanda longsoran berbahaya dapat terjadi.
"Dalam kondisi demikain khususnya ketika terjadi hujan lebat, sebaiknya masyarakat yang bermukim di sekitar tebing seperti itu melakukan evakuasi ke tempat yang lebih aman," kata Dani sebagai Kepala Pelaksana BPBD Jawa Barat.
Hal itu pun menurutnya dapat diterapkan bagi masyarakat yang bermukim di sekitar bantaran sungai. Karena bantaran tempat berdirinya bangunan rumah dapat berpotensi mengalami erosi ketika debit air di sungai cukup tinggi.
Pasalnya, kata dia, peran tim BPBD maupun Tim SAR dan petugas lainnya hanya menyumbang 1,8 persen saja. Sebab para petugas itu tidak berada persis di lokasi kejadian ketika bencana melanda.
"Kesiapsiagaan individu, keluarga, dan komunitas mutlak diperlukan dalam membangun masyarakat yang berbudaya tangguh bencana," kata Dani.
Bencana alam berupa gempa, banjir, tanah longsor telah menjadi peristiwa alam yang akrab dengan bumi Indonesia karena fakta geografis menunjukkan kondisi tersebut menjadi bagian yang harus dihadapi masyarakat.
Pengetahuan yang memadai dari masyarakat tentang kondisi alam di lingkungan tempat bermukim sangat dibutuhkan agar dapat dilakukan pencegahan dan mampu hidup berdampingan secara baik.
Baca juga: BNPB bantu Rp25 miliar untuk hunian tetap korban longsor di Bogor
Baca juga: Jawa Barat hadapi 1.074 bencana dalam 11 bulan
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021