Hal tersebut disampaikannya saat menjadi pembicara kunci pada seminar bertajuk "Regulasi Negara dalam Menjaga Keberlangsungan Media 'Mainstream' di Era Disrupsi Medsos", yang merupakan rangkaian Hari Pers Nasional di Jakarta, Kamis.
“Di tengah disrupsi media sosial Dewan Pers mungkin perlu membuat semacam standar bagi kualitas media kita, demi menjaga kualitas dan melawan hoaks,” ujar Yasonna.
Terkait disrupsi media sosial, Yasonna menjelaskan hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di negara-negara lain. Kehadiran media sosial menjadi hal yang sangat diperhatikan pemerintah.
Baca juga: Ketum PWI: Perlu regulasi lindungi keberlangsungan media mainstream
“Dari total pengguna internet di Indonesia, 170 juta di antaranya pengguna media sosial ini. Pemerintah negara-negara di dunia pusing mengelola medsos. Kami pernah bertemu antar-pemimpin negara di Australia salah satunya membahas perkembangan medsos karena terkait terorisme,” ujar dia.
Menkumham menyebut bahwa pengguna media sosial di Indonesia sangat dahsyat dan mempengaruhi masyarakat sehingga pemerintah harus berupaya menyiasati hal tersebut ke arah yang lebih baik.
Diketahui, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 270 juta jiwa dengan pengguna handphone sebesar 378 juta.
“Ini menunjukkan netizen Indonesia sangat besar dan dipastikan terus meningkat terlebih karena pandemi. Angka-angka tadi menghasilkan keuntungan tapi bisa pula melahirkan kerugian seperti yang terjadi dialami media 'mainstream',” ujar dia.
Terkait disrupsi media sosial yang mengancam media arus utama, Menkumham menganggap internet bisa memberi keuntungan tapi sekaligus ancaman kebangkrutan. Hal ini pun perlu menjadi perhatian.
“Tidak hanya media tapi kita juga melihat pasar-pasar, market tradisional mengalami disrupsi yang perlu disikapi,” ucap dia.
Sementara itu, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Atal S Depari menjelaskan bahwa tekanan disrupsi media sosial terhadap media mainstream terasa semakin kuat. Disrupsi ini muncul bersamaan dengan semakin cepatnya penetrasi bisnis mereka melalui mesin pencari dan situs "e-commerce" yang memberi guncangan sangat besar pada media mainstream.
“Di tengah krisis karena pandemi ini, kehadiran disrupsi media sosial membuat media mainstream semakin terpukul. Jika keadaan ekonomi ini berlanjut saya tidak membayangkan apakah masih ada kemampuan media untuk hidup lebih lama,” kata dia.
Menurut dia, salah satu yang bisa dijadikan harapan sebagai penolong bagi media arus utama ialah kerjasama dengan platform digital seperti Google dan Facebook.
“Perlu dirumuskan aturan main yang transparan, adil, dan menjamin keseteraaan antara 'platform' digital dan media 'mainstream'. Diperlukan regulasi untuk koeksistensi antara media lama dan baru yang saling membutuhkan,” ujar Atal.
Baca juga: PWI-Kemenkumham diskusikan regulasi konvergensi media
Baca juga: Yasonna nilai kesepakatan RUU Prolegnas prioritas 2021 hasil terbaik
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021