Sebelum pandemi, gaya hidup sehat yang umum dikenal antara lain diet gizi seimbang atau sesuai isi piringku seperti anjuran Kementerian Kesehatan, berolahraga rutin, beristirahat cukup, periksa kesehatan berkala, mengelola stres, mengenyahkan asap rokok serta menerapkan perilaku hidup bersih sehat (PHBS).Jika saat pandemi bisa mengatur pola makan, mumpung bisa membuat makanan sendiri, berolahraga lebih banyak, nanti setelah tidak pandemi pola makan kita sudah terbentuk
Lalu saat pagebluk COVID-19 melanda atau tepatnya setahun lalu, pola hidup serupa tetap menjadi anjuran para pakar kesehatan ditambah sejumlah hal yang kemudian disebut adaptasi kebiasaan baru.
Tujuannya menjadi lebih spesifik yakni memutus rantai penularan penyakit akibat virus SARS-CoV-2 itu yang pada akhirnya orang-orang bisa hidup sehat.
Perilaku masyarakat kini harus mengacu pada protokol kesehatan, yang dimulai dari 3M (mengenakan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak), lalu ditambah 2M yakni menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas sehingga menjadi 5M.
Baca juga: Gaya hidup higienis bisa dimulai dari toilet rumah
Ketua Umum Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI) sekaligus epidemiolog Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Ridwan Amiruddin berpendapat, perubahan perilaku bisa terjadi karena paksaan.
"Ini perubahan perilaku bisa karena koersif atau bersifat paksaan. Jadi di mana saja kita berada, perilaku ini harus disesuaikan dengan kondisi yang memutus mata rantai penularan mulai dari orang sehat, orang bergejala," ujar dia.
"Berapa lamanya (perilaku berubah) sangat tergantung dari kesadaran kita. Sekarang yang dibutuhkan sense of crisis seluruh warga karena tidak ada orang yang tak mengambil peran dalam pengendalian COVID-19. Lengah sedikit, kita yang terpapar," imbuh Ridwan.
Ketua Terpilih PB IDI sekaligus Ketua Tim Mitigasi COVID-19 PB IDI, Dr. Muhammad Adib Khumaidi mengatakan, kunci memutus mata rantai penularan COVID-19 tak lain perubahan perilaku dalam segala aktivitas kehidupan.
Saat berada di tempat bekerja misalnya, sudah ada panduan yang perlu orang lakukan mulai dari mencuci tangan, mengganti baju (khusus untuk di kantor) dan melipat pakaian yang dipakai dari rumah dengan lipatan dalam menjadi sisi luar lalu menyimpannya di dalam tas tertutup.
Mereka juga perlu mendinsifeksi meja kerja sebelum dan sesudah bekerja juga disarankan, mencuci tangan dengan air dan sabun, memakai masker medis, membuka jendela di pagi hari agar udara segar dan sinar matahari masuk dan menghindari makan bersama.
Pada gilirannya, orang-orang perlu membiasakan diri membawa perlengkapan pribadi saat keluar rumah antara lain: masker kain dan medis, face shield, baju seragam, jilbab, kotak penyimpanan masker, alat solat, perlengkapan mandi, tas daur ulang untuk menyimpan baju, handrub saku, makanan minuman dengan peralatan makan dan minum pribadi.
Baca juga: Tanda Anda kurang gerak, sering lelah hingga mudah lupa
Bukan hanya untuk diri sendiri, orang-orang termasuk para tenaga medis, bisa mencoba menjadi role model bagi lingkungannya, termasuk dalam urusan bersosialisasi.
"Minimal di lingkungan RT. Kalau saya salat di mushola, di mushola saya paling tidak harus menjaga jarak, harus ada maskernya, harus ada hand sanitizer, atau fasilitas cuci tangan. Kalau kita bisa menjadi role model, maka kita akan mencoba untuk mengubah di mana kita berada," tutur Adib.
Belakangan, saat vaksin COVID-19 ditemukan, orang-orang diminta menjalani vaksinasi untuk menurunkan risiko terkena COVID-19, walau memang tak ada jaminan 100 persen.
Lalu, sampai kapan kebiasaan baru ini diterapkan? Ridwan menyebut sampai terkendalinya COVID-19 atau kekebalan kelompok sudah terbangun.
"Kalau berbicara kekebalan kelompok, ini sifatnya jangka panjang, mungkin masih butuh dua tahun atau tiga tahun terbentuk karena kita membutuhkan 70-80 persen populasi harus terbentuk imun atau mendapatkan vaksinasi," kata dia.
Baca juga: Gaya hidup sehat kunci bertahan di tengah pandemi
Jangan hanya karena pandemi
Realitanya, perilaku hidup sehat bisa dimotivasi berbagai faktor dan tak harus gara-gara pandemi. Seorang perempuan yang berprofesi sebagai jurnalis di Jakarta sekaligus ibu dua anak, Indah Handayani (36), termasuk yang getol soal praktik hidup sehat.
Motivasi utamanya, menghindari stroke. Dia yang pernah memiliki bobot 98 kg menyadari kondisi obesitas bisa berdampak buruk bagi kesehatannya. Sang suami, dengan berat badan 95 kg sempat terkena stroke di usia 38 tahun.
"Aku sadar banget kegemukan enggak bagus, bahkan suami yang masih umur 38 tahun saja sudah kena (stroke). Akhirnya, kami ubah pola makan dan gaya hidup," kata dia kepada ANTARA belum lama ini.
Indah dan suami kemudian menjalani gaya hidup yang dimulai dari pola pikir ingin sehat dan jauh dari penyakit.
Dia berolahraga rutin yang awalnya tiga kali seminggu dengan sepeda statis selama 15 menit, kemudian meningkatkan intensitas berolahraganya menjadi lima kali dengan durasi naik bertahap yakni 20 menit, lalu setelah 2 bulan naik menjadi 30 menit.
Baca juga: Vaksin bukan akhir, gaya hidup sehat adalah kebutuhan
Indah juga menambah aktivitas lain, jalan pagi pada hari Sabtu atau Minggu dengan menerapkan protokol kesehatan.
Soal pola makan, dia tidak melewatkan satu pun waktu makan. Setiap hari dia sarapan lalu snacking pukul 10.00, makan siang pukul 12.00, snacking kembali pukul 15.00 dan makan malam pukul 17.00.
Menu makanan yang dia pilih biasanya roti gandum, keju slice, susu dan buah seperti apel, pisang, salak, pepaya tanpa melupakan asupan nutrisi makro dan mikro.
Saat ini, bobot Indah sudah turun menjadi 68 kg sementara sang suami 60 kg. Dia berniat menurunkan berat badan 5-10 kg lagi tahun ini untuk benar-benar pensiun dari predikat obesitas.
Ketika ditanya, apa gaya hidup ini akan dia pertahankan hingga pandemi berakhir, Indah mengiyakan karena menurut dia, turun berat badan itu bonus tetapi yang utama sehat.
Baca juga: Vaksinasi COVID-19 nomor satu, jaga pola hidup sehat juga perlu
Gaya hidup sehat Indah juga ternyata membantu ketika ia harus terpapar COVID-19. "Aku penderita asma, Alhamdulillah enggak ada gejala yang berat, hanya ngerasa sendi linu, pilek, dan hilang penciuman. Akhirnya aku bisa isolasi mandiri di rumah yang lebih nyaman dan bisa tetap pola hidup sehat," kata perempuan yang tinggal di Bekasi itu.
Saat ini, terhitung sudah 13 hari Indah melakukan isolasi mandiri. Dia masih menunggu hasil tes COVID-19 untuk memastikan virus SARS-CoV-2 enyah dari tubuhnya.
Pakar gizi klinik jebolan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Dr. Cut Hafiah mengatakan, saat seseorang sudah bertekad kuat menerapkan diet sehat, pola hidupnya akan lebih sehat dan berat badannya tidak akan naik lagi (jika dia mengalami kelebihan berat badan).
Jadi, walaupun pandemi usai, orang dengan kebiasaan atau gaya hidup sehat, termasuk dalam pola makan, biasanya akan tetap menjalani hidup sehat sebagai habit.
"Pola makan sehat dengan frekuensi makan teratur dan kurus merupakan bonus. Jika saat pandemi bisa mengatur pola makan, mumpung bisa membuat makanan sendiri, berolahraga lebih banyak, nanti setelah tidak pandemi pola makan kita sudah terbentuk," kata dia.
Ada atau tidak ada pandemi COVID-19, pola hidup sehat jelas sangat banyak manfaatnya, selain buat diri sendiri juga bagi lingkungan, dan itu merupakan investasi besar dalam perjalanan hidup setiap orang karena kesehatan tak ternilai harganya.
Baca juga: Cara diet seimbang di tengah pandemi
Baca juga: Novita Angie pilih terapkan gaya hidup sehat untuk keluarga
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2021