Program Kementerian Pertanian itu dilakukan di seluruh daerah di Tanah Air, termasuk di Provinsi Sulawesi Tengah yang sejak dari dulu banyak memiliki pangan lokal, selain beras sebagai bahan kebutuhan pokok masyarakat.
Sejak dicanangkan pemerintah pusat melalui Kementerian Pertanian, Pemprov Sulteng melalui Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Sulteng bersama dengan Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura sangat meresponnya.
Kedua dinas tersebut langsung tancap gas melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mendukung program dimaksud.
Terutama Ketahanan Pangan menindak lanjuti program Kementerian Pertanian dengan turun ke seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sulteng melakukan sosialisasi dan kampanyekan program B2SA.
Pemerintah kabupaten maupun pemerintah kota pun sangat mendukung mensukseskan program dimaksud.
Kini, program B2SA dari Kementerian Pertanian sudah sampai ke seluruh kabupaten dan kota yang ada di Sulteng.
Para pimpinan daerah baik gubernur, bupati dan wali kota di Sulteng memberikan dukungan penuh terhadap program yang digelontorkan pemerintah pusat sebagai upaya menjaga ketahanan dan kualitas pangan, khususnya pangan lokal nonberas.
Harapan pemerintah paling tidak jika program ini berhasil, dapat mengurangi ketergantungan masyarakat kepada beras yang selama ini menjadi kebutuhan pokok.
Padahal ada pangan lokal nonberas yang juga jauh lebih aman dan sehat dikonsumsi jika dilakukan secara berimbang dan benar dibandingkan beras.
Justru beras mengandung karbohidrat yang cukup tinggi dan jika dikonsumsi secara berlebihan dapat berpengaruh besar terhadap munculnya penyakit diabetes.
Salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pangan beras adalah mendorong pangan lokal nonberas untuk menjadi makanan pokok, sebab lebih aman dan sehat dikonsumsi oleh tubuh.
Baca juga: Pakar: Sektor pertanian jadi sandaran selama resesi ekonomi
Baca juga: Aceh pilih kembangkan produksi ubi kayu sebagai pangan lokal 2021
Solusi masa pandemi
Kepala Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Sulteng Abdullah Kawulusan menjelaskan bahwa tujuan utama dari program diversifikasi pangan dan penganekaragaman konsumsi pangan lokal nonberas antara lain guna mengurangi ketergantungkan terhadap komoditi pokok yakni beras.
Tingginya kebutuhan akan makanan pokok beras, juga mengakibatkan Indonesia sampai sekarang ini masih mengimpor beras dari luar seperti selama ini dilakukan pemerintah.
Indonesia masih mendatangkan beras dari sejumlah negara seperti Vietnam dan Thailand.
Padahal, Indonesia merupakan negara agraria yang seharusnya justru menjadi pengekspor berbagai komoditi pertanian, termasuk beras.
Namun selama ini, Indonesia masih saja mengimpor beras dan Sulteng termasuk salah satu daerah yang beberapa tahun lalu mendapat jatah pasokan beras impor.
Ironisnya, Sulteng sejak Tahun 1984 telah mencapai swasembada beras."Kita pernah makan beras impor," ujarnya.
Menurut Abdullah Kawulusan, gerakan B2SA juga dapat menjadi solusi terhadap kerawanan pangan global dan masa pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia saat ini.
Pangan lokal nonberas selain solusi pengurangi ketergantungkan terhadap beras, juga sekaligus dapat mengatasi kekurangan pangan di masa pandemi COVID-19.
Seperti yang terjadi di Provinsi Sulteng sama selama masa pandemi COVID-19, masyarakat tidak mengalami kekurangan maupun kesulitan bahan makanan, sebab ada banyak pangan alternatif.
Pangan alternatif tersebut banyak dikonsumsi masyarakat di Provinsi Sulteng menghadapi masa pandemi COVID-19.
"Kita tidak selamanya hanya makan nasi (beras), tetapi ada banyak makanan lain yang justru jauh lebih aman dan sehat saat dikonsumsi masyarakat," kata dia.
Pangan lokal yang aman dan sehat dimaksud antara lain, ubi kayu, ubi talas, ubi ungu, pisang, jagung dan sagu.
Hampir seluruh wilayah di Sulteng yang memiliki tanaman sagu. Bahkan di beberapa daerah sejak nenek moyang sampai turun-temurun menjadikan sagu sebagai salah satu makanan khas.
Misalkan di Kabupaten Poso, Morowali dan Buol, sagu adalah makanan khas utama masyarakat dan hingga kini masih menjadi makanan pokok selain beras dan pangan lokal lainnya.
Ancaman pangan
Bupati Sigi Mohammad Irwan Lapata menyambut positif program diversifikasi pangan yang dilakukan Kementerian Pertanian di tengah-tengah Indonesia sedang menghadapi dan melawan penyebaran virus corona.
Pandemi COVID-19 yang sejak 2020 sampai sekarang ini masih menjadi momok menakutkan bagi bangsa dan rakyat Indonesia, termasuk di Provinsi Sulteng (Kabupaten Sigi) telah mempengaruhi perekonomian nasional.
Bukan hanya di tingkat pusat saja yang merasakan dampaknya, tetapi juga di daerah kita. Semua daerah terdampak COVID-19 telah mempengaruhi perekonomian daerah dana masyarakat mengalami penurunan daya beli.
Tingkat daya beli masyarakat terhadap berbagai kebutuhan sehari-hari terutama beras dan lainnya semakin terpuruk karena penyebaran virus corana yang belum juga berhasil, meski berbagai upaya telah dilakukan pemerintah pusat dan daerah.
Pemerintah perlu terus mendorong pangan lokal nonberas, sebab semua daerah di Tanah Air memiliki yang namanya pangan lokal nonberas.
Pangan lokal nonberas merupakan salah satu solusi menghadapi ancaman pangan global dan sekaligus juga selama menghadapi masa pandemi VOVID-19.
Mengapa?, sebab harga komoditi pangan lokal seperti ubi-ubian, sagu, jagung, pisang dan lainnya jauh relatif lebih murah dibandingkan beras.
Misalkan, harga pisang sepatu satu siri hanya Rp5.000.Sedangkan harga beras medium saja di pasaran saat ini di atas Rp9.000/kg dan beras berkualitas (premium), harganya bisa mencapai Rp12.000/kg.
Begitu pula dengan harga ubi-ubian seperti ubi talas 10 buah hanya Rp10.000.
Karena itu, Pemkab Sigi terus memberikan dukungan dengan melakukan sosialisasi dan kampanye sampai ke desa-desa agar semua masyarakat bisa mengetahui bahwa konsumsi pangan lokal justru jauh lebih aman dan sehat.
Dukungan sama juga disampaikan Bupati Buol Amiruddin Rauf. Bupati Amirudin menyatakan, pihaknya melalui Dinas Ketahanan Pangan di daerah itu gencar melakukan sosialisasi program-program Kementerian Pertanian dalam kaitannya dengan diversifikasi pangan lokal.
Apalagi, masyarakat di Kabupaten Buol selama ini sudah sangat dekat dengan bahan makanan lokal nonberas yakni sagu sebagai makanan alternatif selain beras.
Pada zaman dahulu, para leluhur Buol sudah sangat akrab sekali dengan makanan dari sagu. Pohon sagu banyak di daerah itu.
Sagu bisa diolah menjadi makanan sehari-hari dan juga bahan baku kue. "Tinggal bagaimana caranya mengolah agar bisa lebih menarik untuk dikonsumsi," kata dia.
Karena itu, program dimaksud harus didukung dan dikampanyekan terus sampai bisa memasyarakat dan menjadi makanan sehari-hari yang selalu ada di meja makan.
Jika program ini berjalan dengan baik, maka secara perlahan-lahan kita bisa menekan ketergantungkan kepada beras tidak lagi sebesar seperti sekarang ini.
Paling tidak, masyarakat tidak lagi menjadikan beras sebagai satu-satunya makanan pokok, tetapi ada penganekaragaman pangan lokal.
Baca juga: Pengembangan ekonomi lokal membuat ketahanan pangan lebih tinggi
Tidak makan nasi
Wakil Gubernur Sulteng, Rusli Dg Palibi saat menghadapi gerakan diversifikasi program pangan lokal beberapa waktu lalu mengatakan bahwa keluarganya selama ini telah melakukan penganekaragaman pangan. "Kami dalam seminggu, dua kali tidak makan nasi," kata dia.
Dalam dua kali tidak makan nasi, sebagai penggantinya adalah mengkonsumsi pangan lokal seperti pisang, sagu, dan ubi-ubian.
Saat mereka makan makanan nonberas, tubuh/badan terasa sangat sehat.
Program dua kali seminggu makan pangan lokal nonberas itu tetap dilakukan sampai sekarang ini. "Keluarga kami sudah terbiasa melakukannya," ujar Wagub Rusli.
Karena itu, perlu mengajak masyarakat mulai melakukan program tersebut. Mulai menerapkan dalam keluarga masing-masing dan hal itu akan sangat berbeda rasakan ketika hanya makan nasi setiap harinya.
Apalagi dalam menghadapi masa pandemi COVID-19 seperti sekarang ini, di mana perekonomian terasa sangat beras dan terpuruk dirasakan masyarakat, maka pangan lokal nonberas menjadi solusi paling bagus.
Selain harganya murah, juga tidak sulit untuk diperoleh. Pangan lokal bisa ditemukan dijual di pasar-pasar tradisional yang ada di seluruh kabupaten/kota di Sulteng.
Sudah saatnya kembali mengkonsumsi pangan lokal. Menjadikan pangan lokal sebagai makanan yang aman dan jauh lebih sehat ketimbang beras.
Baca juga: Mengolah pekarangan untuk tanaman pangan berkelanjutan saat pandemi
Baca juga: FAO: Harga pangan dunia naik pada Januari, tertinggi sejak Juli 2014
Pewarta: Anas Masa
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021