• Beranda
  • Berita
  • Karantina 28 hari efektif ketimbang akhir pekan, sebut epidemiolog UI

Karantina 28 hari efektif ketimbang akhir pekan, sebut epidemiolog UI

8 Februari 2021 16:13 WIB
Karantina 28 hari efektif ketimbang akhir pekan, sebut epidemiolog UI
Pengunjung menunggu makanan di Thamrin 10, Jakarta, Rabu (3/2/2021). Pemprov DKI Jakarta akan mengkaji opsi karantina wilayah atau "lockdwon" di akhir pekan dalam upaya penanganan COVID-19. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/rwa.

Secara epidemiologi penerapan karantina wilayah akan jauh lebih efektif selama 28 hari. Artinya, selama dua kali masa inkubasi tersebut orang-orang yang terinfeksi bisa sembuh yang tentunya juga dibantu pengobatan

Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Syahrizal Syarif Ph.D mengatakan karantina dua kali masa inkubasi atau 28 hari akan jauh lebih efektif diterapkan dibandingkan penerapan karantina akhir pekan untuk mencegah penularan COVID-19.

"Karantina akhir pekan itu tidak akan efektif," katanya saat dihubungi di Jakarta, Senin.

Secara epidemiologi, kata dia, penerapan karantina wilayah akan jauh lebih efektif selama 28 hari. Artinya, selama dua kali masa inkubasi tersebut orang-orang yang terinfeksi bisa sembuh yang tentunya juga dibantu pengobatan.

Namun, jika pemerintah hanya menerapkan karantina akhir pekan saja maka pencegahan COVID-19 dinilainya tidak akan berhasil.

"Kalau karantinanya cuman setiap minggu itu sama saja omong kosong," katanya menegaskan.

Bahkan, langkah itu dinilainya hanya akan semakin mempersulit ekonomi masyarakat kalangan menengah ke bawah.

Meskipun demikian, ia meragukan kebijakan itu bisa diterapkan. Sebab, karantina dua kali masa inkubasi butuh persiapan dan akan memakan anggaran yang besar.

Apalagi, selama 28 hari tersebut akan berdampak luas bagi sektor-sektor perekonomian di Tanah Air.

"Jadi itu kalau mampu ya, sebab dampak ekonominya akan besar," kata Syahrizal.

Namun, bila pemerintah tidak siap untuk menerapkan karantina 28 hari maka penerapan protokol kesehatan 3M yakni memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan pakai sabun wajib terus dipatuhi.

Bahkan, jika perlu masyarakat yang terbukti melanggar protokol kesehatan maka harus diberikan denda lebih besar agar memberikan efek jera.

Secara pribadi selama ini ia menilai pemerintah belum cukup tegas dalam penegakan aturan kepada pelanggar protokol kesehatan. Sebagai contoh masih banyak ditemukan restoran yang tidak patuh protokol kesehatan.

"Contohnya masih banyak restoran yang satu meja diisi enam orang, padahal saat makan orang tidak pakai masker," katanya.

Terakhir ia mendorong pemerintah agar terus memperbaiki penelusuran orang-orang yang kontak erat dengan pasien COVID-19. Hal itu dapat pula dengan memanfaatkan teknologi yang ada.

Selain itu, untuk membantu percepatan penelusuran disarankan agar pemerintah memberdayakan atau merekrut mahasiswa ilmu kesehatan supaya pekerjaan di lapangan lebih cepat, demikian Syahrizal Syarif .

Baca juga: Epidemiolog sarankan pemerintah fokus atasi kerumunan cegah COVID-19

Baca juga: Epidemiolog UI: PSBB harus dipertahankan

Baca juga: Guru Besar FKM Epidemiolog FKM wafat, UI berduka cita

Baca juga: Epidemiolog UGM: Karantina mandiri cegah klaster COVID-19 di pesantren

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021