Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK, Nunu Anugrah dalam rilisnya, Kamis, mengatakan pada halaman 14 laporan tersebut menuding bahwa deforestasi tertinggi terjadi pada periode Menteri LHK Siti Nurbaya seluas 298.687 hektar, namun laporan tersebut menutupi fakta mengenai siapa yang memberi ijin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit sehingga telah terjadi deforestasi pada areal seluas itu.
Laporan tersebut, kata dia, menyembunyikan fakta tersebut untuk sampai pada kesimpulan bahwa seolah-olah deforestasi tertinggi di tanah Papua berasal dari perizinan di periode kepemimpinan Menteri Siti Nurbaya.
KLHK juga melihat laporan tersebut dikesankan sebagai laporan yang membahas soal asal usul deforestasi secara legalitas, namun terbukti menutupi fakta mengenai kapan dan siapa yang memberikan perizinan pada areal yang terjadi deforestasi tersebut.
Baca juga: Pemerintah pastikan tidak ada deforestasi di Papua
Baca juga: Dishut Papua minta seluruh pihak dukung rehabilitasi hutan dan lahan
KLHK juga menegaskan bahwa pelepasan kawasan hutan, termasuk untuk pembangunan perkebunan sawit, dimulai dari adanya surat rekomendasi pelepasan kawasan hutan yang diterbitkan oleh para bupati dan walikota serta kedua gubernur di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Dikatakan bahwa laporan 11 LSM tersebut sangat prematur karena masih menutupi fakta soal sebaran areal deforestasi selama 2015-2019 tanpa mengungkapkan pada periode siapa perizinan tersebut diterbitkan.
KLHK dalam waktu dekat ini akan menerbitkan laporan sebaran areal deforestasi berdasarkan kapan perizinan itu diterbitkan, terutama di Papua dan Papua Barat.
"Perlu kami tegaskan bahwa hampir semua deforestasi di Papua dan Papua Barat adalah bersumber dari perizinan sebelum pemerintahan Joko Widodo dan Menteri LHK Siti Nurbaya" ujarnya.
Sebenarnya, 11 LSM yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Memantau mendesak pemerintah menghentikan deforestasi di Papua dan menyegerakan perwujudan hutan adat di Papua.
Menurut data 11 LSM tersebut, sepanjang dua dekade terakhir, hutan alam tanah Papua menyusut 663.443 hektare, 29 persen pada 2001-2010 dan 71 persen pada 2011-2019, dengan puncak deforestasi pada 2015 yang menghilangkan hutan alam 89.881 hektare.
Kabupaten Merauke dan Boven Digoel di bagian selatan menjadi kabupaten paling dominan mengalami deforestasi pada 2001-2019. Diikuti Kabupaten Nabire di bagian tengah, serta Teluk Bintuni, Sorong, dan Fakfak di bagian barat.
Hasil analisis juga menunjukkan adanya pergeseran episentrum deforestasi di Tanah Papua dalam dua dekade terakhir deforestasi 2001-2010 didominasi Kabupaten Boven Digoel, Teluk Bintuni, Kaimana, Mimika, dan Sorong, sementara pada 2011-2019, selain Boven Digoel, Merauke, Keerom, Nabire, dan Fakfak muncul sebagai daftar baru wilayah dominan deforestasi.
Salah satu penyumbang signifikan deforestasi di Tanah Papua adalah pelepasan kawasan hutan untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit. Sebanyak 72 surat keputusan pelepasan kawasan hutan (PKH) di Tanah Papua diterbitkan menteri kehutanan pada rentang 1992 – 2019, seluruhnya seluas 1.569.702 hektare.
Sektor pertanian menjadi tujuan utama pelepasan, yakni seluas 1.461.557 hektare. Pembangunan perkebunan kelapa sawit adalah tujuan utama pelepasan kawasan hutan untuk sektor pertanian, yakni seluas 1.308.607 hektare, atau 84 persen dari total pelepasan kawasan hutan di Tanah Papua.
Pengecekan melalui citra satelit menemukan seluas 1.292.497 hektare (82 persen) area pelepasan untuk sawit tersebut merupakan tutupan hutan alam saat dilepaskan. Hingga 2019 area pelepasan untuk sawit tersebut telah mengalami deforestasi seluas 145.595 hektare, atau hampir sepertiga dari total deforestasi di Tanah Papua.
Masih terdapat tutupan hutan alam seluas 1.145.902 hektare pada seluruh area pelepasan kawasan hutan untuk pembangunan kebun sawit.*
Baca juga: Anak muda sepakat hutan Papua benteng terakhir hadapi krisis iklim
Baca juga: Hutan primer Papua Barat berkurang 2,1 juta hektare
Pewarta: Ernes Broning Kakisina
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021