Penambahan stasiun pemberhentian untuk naik dan turun penumpang di sejumlah stasiun yang selama ini tidak pernah disinggahi Prameks dinilai menjadi salah satu upaya untuk memantik pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.
Setelah cukup lama dinanti kehadirannya, kereta rel listrik lintas Yogyakarta-Solo akhirnya resmi beroperasi secara penuh tepat pada 10 Februari 2021 dengan 20 perjalanan pulang pergi setiap hari.
Kereta rel listrik (KRL) pertama yang dijalankan di luar wilayah Jabodetabek tersebut menggantikan operasional kereta rel diesel Prambanan Ekspres (Prameks) yang sejak 1994 setia memberikan pelayanan kepada kaum komuter antarkedua kota tersebut.
Ribuan orang diperkirakan akan menggunakan layanan KRL tersebut untuk menjalani aktivitas mereka sehari-hari, terutama aktivitas bekerja dan perekonomian di Yogyakarta, Solo, serta tempat lain di sepanjang perlintasan kereta.
Pada hari pertama saat dioperasionalkan secara penuh, 10 Februari, PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) mencatat sudah ada lebih dari 2.000 pelanggan yang melakukan tap in di gate elektronik stasiun.
Artinya, ada pergerakan masyarakat dan juga barang yang menjadi salah satu faktor yang harus dipenuhi untuk bergeraknya aktivitas perekonomian di suatu wilayah. Jika pergerakan manusia dan barang terus bertambah, tentu saja aktivitas perekonomian akan semakin berkembang.
Baca juga: Hari pertama Februari, penumpang KRL naik 4 persen meski masih PPKM
Upaya untuk mempertahankan bahkan meningkatkan jumlah pergerakan manusia dan barang dilakukan dengan meningkatkan kualitas pelayanan KRL dibanding pendahulunya, Prameks.
Layaknya mendapat sebuah kendaraan baru, kaum komuter yang selama ini menggunakan Prambanan Ekspres pun menaruh harapan besar terhadap peningkatan layanan dari operasional KRL Yogyakarta-Solo.
Kenyamanan, kecepatan, ketepatan waktu perjalanan, dan jadwal keberangkatan sesuai kebutuhan menjadi aspek paling krusial yang diinginkan setiap pelanggan kereta rel listrik, terlebih sebagian besar kaum komuter merupakan pekerja yang tentu saja memiliki tanggung jawab untuk selalu tiba tepat waktu, tanpa terlambat.
Pramekers atau pelanggan yang setia menggunakan layanan Prambanan Ekspres bahkan memiliki pemeo terhadap layanan kereta komuter tersebut yaitu hanya Tuhan yang tahu kapan kereta akan berangkat dan datang karena seringnya terjadi hambatan dalam perjalanan kereta.
Meskipun sering terjadi hambatan dalam perjalanan, namun Prameks merupakan moda transportasi yang menjadi andalan kaum komuter, salah satunya karena waktu tempuh yang lebih cepat dibanding moda transportasi lain seperti bus atau kendaraan pribadi.
Oleh karenanya, kehadiran KRL Yogyakarta-Solo yang menggantikan Prameks dapat diibaratkan menjadi oase bagi pelanggan untuk menikmati pelayanan moda transportasi massal yang lebih baik, nyaman, dan ramah.
Seperti yang disampaikan oleh salah satu Pramekers, Noor Harsya Aryo Samudro yang sudah menjadi pelanggan kereta komuter tersebut sejak akhir 2007.
Ia yang memanfaatkan kereta karena bekerja di Solo sebagai pengajar berharap operator dapat menjaga kualitas layanan KRL dengan selalu memastikan kenyamanan, ketepatan, dan kecepatan waktu tempuh setiap hari tanpa ada gangguan apapun.
Baca juga: KAI: 1.700 pengguna ikut uji coba KRL Yogyakarta-Solo hari ini
Perbedaan waktu tempuh antara Prameks dengan KRL sekitar 10 hingga 15 menit dinilai menjadi perbedaan yang signifikan bagi kaum komuter.
KRL Yogyakarta-Solo membutuhkan waktu 68 menit untuk menempuh satu kali perjalanan, sedangkan Prameks membutuhkan waktu 75 menit apabila tidak ada kendala teknis dalam perjalanan.
Waktu tempuh yang dibutuhkan KRL tersebut sudah jauh lebih efisien karena kereta juga berhenti di 11 stasiun atau lebih banyak dibanding jumlah stasiun yang disinggahi Prameks yaitu di tujuh stasiun.
Jam operasional KRL pun dinilai lebih ramah karena sudah disesuaikan dengan kebutuhan kaum pekerja, sehingga tidak menyulitkan pekerja untuk berangkat maupun pulang kantor. Jadwal perjalanan pada pagi dan sore hari diperbanyak untuk mengakomodasi kebutuhan pelanggan.
Meskipun demikian, ada pula pelanggan yang menyebut pelayanan KRL Yogyakarta-Solo belum sesuai dengan ekspektasi awal, terutama untuk kecepatan atau waktu tempuh karena hampir sama dengan Prameks.
Sejak diwacanakan untuk pertama kali, Gading Persada, salah satu pelanggan Prameks berharap waktu tempuh kereta bisa mencapai sekitar 45 hingga 50 menit antara Yogyakarta-Solo.
Ia yang memanfaatkan KRL dari Solo ke Yogyakarta menyebut kereta cukup nyaman, bahkan hampir tidak ada suara kereta yang didengar penumpang saat kereta berjalan.
Namun demikian, pemberhentian di banyak stasiun kecil dinilai belum dibutuhkan karena tidak banyak bahkan hampir tidak ada pelanggan atau penumpang yang naik dan turun di stasiun tersebut. Jika waktu tempuh kereta bisa dipercepat, maka layanan KRL pun akan sempurna, karena kereta nyaman dan cepat.
Pertumbuhan ekonomi
Selain ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada kaum komuter yang didominasi pekerja, operasional KRL Yogyakarta-Solo diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di Yogyakarta dan Solo saja tetapi juga di sepanjang wilayah yang dilintasi kereta tersebut.
Penambahan stasiun pemberhentian untuk naik dan turun penumpang di sejumlah stasiun yang selama ini tidak pernah disinggahi Prameks dinilai menjadi salah satu upaya untuk memantik pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.
Keberadaan infrastruktur yang memberikan kemudahan masyarakat untuk bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menumbuhkan ekonomi di suatu wilayah.
Keempat stasiun baru yang dibuka untuk naik turun penumpang KRL Yogyakarta adalah di Stasiun Srowot, Ceper, Delanggu, dan Gawok. Selain itu, kereta juga berhenti di tujuh stasiun lain yang selama ini disinggahi Prameks, yaitu Yogyakarta, Lempuyangan, Maguwo, Brambanan, Klaten, Purwosari, dan Solo Balapan.
PT KCI selaku operator KRL Yogyakarta-Solo optimistis pembukaan empat stasiun tersebut mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitar setelah antusias warga di sekitar stasiun terlihat saat mengikuti uji coba perjalanan kereta.
Baca juga: KRL Yogyakarta-Solo lakukan penyesuaian jadwal perjalanan
Keputusan untuk menyamakan tarif KRL Yogyakarta-Solo dengan tarif Prameks, yaitu Rp8.000 untuk sekali perjalanan merupakan langkah baik untuk menjaga pelanggan dan menarik minat masyarakat lain yang sebelumnya tidak tertarik memanfaatkan moda transportasi tersebut.
Demikian juga masyarakat yang ingin memanfaatkan moda transportasi tersebut untuk mengeksplorasi objek wisata di Yogyakarta-Solo bahkan di sejumlah tempat lain sepanjang perlintasan karena banyak stasiun pemberhentian.
VP Corporate Secretary PT KCI Anne Purba mengatakan akan ada transformasi budaya dengan dioperasikannya KRL Yogyakarta-Solo secara penuh, termasuk budaya mengantre membeli tiket yang sudah tidak akan lagi terjadi.
Penumpang tidak lagi harus melakukan reservasi pembelian tiket tetapi cukup melakukan tap menggunakan kartu multi trip yang dikeluarkan PT KCI atau menggunakan kartu elektronik dari bank yang sudah bekerja sama. Tap dilakukan saat masuk dan keluar stasiun.
Sejumlah persyaratan pun diberlakukan untuk penumpang saat berada di dalam kereta, misalnya tidak boleh membawa tempat duduk lipat atau duduk di sepanjang lorong kereta karena berbahaya.
Bagi masyarakat di sepanjang perlintasan, PT KCI mengingatkan untuk meningkatkan kewaspadaan karena KRL melaju dengan kecepatan cukup tinggi dan hampir tidak ada suara yang dikeluarkan layaknya kereta lain.
Perjalanan KRL 20 kali sehari tentu akan meningkatkan frekuensi perjalanan kereta di lintas Yogyakarta-Solo, terlebih masih banyak perlintasan sebidang yang tidak dijaga.
Di wilayah kerja PT KAI Daerah Operasi 6 Yogyakarta, 119 perlintasan resmi dan sudah dijaga, baik oleh PT KAI maupun oleh pihak lain, sedangkan perlintasan sebidan yang tidak dijaga justru lebih banyak mencapai 217 titik ditambah 20 titik perlintasan liar.
Perubahan nilai
Meskipun memiliki segudang keunggulan dibanding pendahulunya, namun komunitas Pramekers juga mengalami kekhawatiran dengan perubahan nilai-nilai dan kebiasaan yang dimungkinkan akan terjadi dari operasional KRL Yogyakarta-Solo.
Salah satunya terkait paseduluran yang selama ini terjalin sangat erat antara Pramekers, bahkan setiap penumpang sudah layaknya menjadi seperti saudara bagi penumpang lainnya. Muncul sikap saling tolong menolong dan gotong royong antarpenumpang.
Jalinan persaudaraan unik tersebut tercipta karena setiap pelanggan pernah mengalami masa-masa membahagiakan dan masa-masa yang sulit saat naik Prameks, mulai dari kesulitan memperoleh tiket, kecopetan, bahkan saat ada pelanggan yang sakit.
Baca juga: Gapeka 2021 berlaku, KRL Yogyakarta-Solo mulai berbayar besok
Tidak jarang, para penumpang tersebut membantu membelikan tiket untuk penumpang lain yang kesulitan atau membantu saat ada penumpang yang sakit hingga berbagi makanan saat menunggu kereta yang terlambat datang.
“Saka sepur dadi sedulur”, (dari kereta menjadi saudara) begitu Pramekers menggambarkan bagaimana sebuah kereta mampu menumbuhkan empati antar penumpang dan memberikan begitu banyak nilai serta kenangan mendalam dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Meskipun akan ada perubahan nilai karena berbagai aturan baru yang ditetapkan, seperti penggunaan uang elektronik untuk membeli tiket, namun Pramekers yang kini menjadi penumpang KRL berkomitmen untuk tetap mempertahankan nilai-nilai baik tersebut.
Paseduluran di kereta harus tetap bisa dipertahankan meskipun saat ini mereka memiliki habitus baru untuk melakukan perjalanan di atas rel selama sekitar satu jam setiap harinya. Adios Prameks, Bienvenida KRL Yogyakarta-Solo.
Pewarta: Eka Arifa Rusqiyati
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021