Dalam diskusi virtual membahas pengelolaan limbah masker di masa pandemi, Akbar Hanif Dawam Abdullah sebagai peneliti Loka Penelitian Teknologi Bersih (LPTB) LIPI mengatakan setelah menganalisis masker sekali pakai yang beredar di masyarakat, kebanyakan menggunakan termoplasik yang disebut polipropilen (PP).
"Kalau kita lihat dari bahannya, dianalisis kebanyakan adalah polipropilen yang dalam industri plastik sudah dikenal," ujar Dawam dalam diskusi yang diadakan LIPI dan dipantau dari Jakarta pada Selasa.
Menurut Dawam, PP sendiri sudah digunakan di beberapa produk umum seperti tutup botol dan gelas plastik. Selain itu dengan titik leleh 163-169 derajat Celcius membuatnya dapat didaur ulang.
Baca juga: KLHK larang pembuangan limbah medis di TPA sampah rumah tangga
Baca juga: KLHK perbanyak fasilitas pengolahan limbah medis
LPTB LIPI sendiri telah melakukan uji coba daur ulang limbah masker sekali pakai dengan melakukan proses disinfektan memanfaatkan pelarutan natrium hipoklorit. Setelah dikeringkan, dipotong kecil-kecil, melalui proses ekstruksi yang kemudian menghasilkan bijih plastik daur ulang.
Setelah melalui pencetakan maka dihasilkan produk plastik daur ulang dari limbah masker tersebut.
"Dari sini kita lihat yang tadinya limbah kita bisa olah menjadi satu produk yang bermanfaat, memiliki nilai ekonomi, dan zero waste," ujar Dawam.
Selain itu, ujarnya saat ini sudah terdapat industri dan UMKM daur ulang plastik cukup banyak agar solusi itu dapat dimanfaatkan di masa pandemi seperti saat ini.
Tidak hanya itu daur ulang limbah medis plastik juga bisa digunakan dengan metode rekristalisasi, yang memungkinkan terjadi degradasi sangat rendah karena ketiadaan shear dan stress pada proses daur ulang biasa, yang dapat membantu mengurangi sampah mikroplastik.
Menurut peneliti Pusat Penelitian Kimia LIPI Sunit Hendrana, metode itu mampu memisahkan kandungan logam yang mungkin terdapat dalam plastik medis, menghasilkan plastik daur ulang berupa serbuk, memiliki kemurnian produk daur ulang yang tinggi hingga dapat digunakan lagi untuk keperluan serupa, dan mudah serta efektif untuk diterapkan pada berbagai jenis plastik.
Selain itu, metode rekristalisasi memiliki potensi konsumsi energi yang lebih rendah serta dapat dikembangkan sehingga sterilisasi dapat dilakukan in-situ dalam rangkaian proses daur ulang.
"Prinsip dasar dari metode ini adalah sifat kelarutan, bahwa plastik itu larut dalam pelarut tertentu. Ini yang bisa kita manipulasi sehingga bisa mengkristal dalam bentuk larutan dan dijadikan serbuk," ujar Sunit.
Prosesnya adalah pelarutan yang kemudian dicampur dengan anti-pelarut yang menghasilkan pengendapan. Di situ akan dilakukan pemisahan serbuk plastik.
Pelarut dan anti-pelarut itu juga dapat dipisahkan kembali dan digunakan lagi, kata Sunit.
Dia memberi contoh bagaimana metode itu bisa juga digunakan untuk sampah medis lain seperti GeNose yang mulai Februari 2021 telah digunakan di beberapa fasilitas transportasi untuk melacak COVID-19.
"LIPI dengan ini menawarkan metode yang semoga bisa dikaji dan kemudian bisa dijadikan alternatif untuk menjadi solusi penanganan sampah medis plastik yang tidak menimbulkan masalah lain di kemudian hari," kata Sunit.*
Baca juga: KLHK: Ada 6.417,95 ton timbulan limbah COVID-19 sampai awal Februari
Baca juga: Ombudsman RI sebut kesadaran pengelolaan limbah medis belum merata
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021