Meski tak ada satu pun negara di dunia ini yang ideal dalam menerapkan kebijakan ekonominya, namun Korea Selatan (Korsel) setidaknya bisa menjadi acuan sederhana tentang betapa nasionalisme ekonomi mampu menyejajarkan industri otomotif negeri ginseng dengan raksasa automobile Jepang.Pemerintah bukan sekadar mengajak namun membuktikan untuk mengalihkan seluruh belanja program ke arah produk buatan lokal
Di Korsel, ada semacam tradisi tak tertulis yang ditanamkan Park Chung-hee sebagai peletak dasar pembangunan ekonomi Korsel sejak dahulu bahwa masyarakat yang membeli mobil impor dianggap tak nasionalis.
Maka tak heran jika survei SK Encar pada 2017 menemukan bahwa hanya sekitar 30 persen pemilik mobil di negara itu yang mempertimbangkan membeli mobil impor untuk pilihan mobil mereka berikutnya.
Faktanya pada 2019, mobil favorit masyarakat Korsel tetaplah mobil merek lokal. Tercatat Hyundai Grandeur menjadi model mobil lokal terlaris dengan volume penjualan sekitar 103 ribu unit, disusul Hyundai Sonata sekitar 100 ribu unit
di Korsel. Hyundai Grandeur meraih penjualan lebih dari 100 ribu unit selama tiga tahun berturut-turut.
Wajar jika kemudian Korsel mampu mematahkan anggapan miring ekonom-ekonom dunia yang sempat meragukan sepak terjangnya untuk menjadi “Jepang berikutnya” di kawasan Asia.
Hal ini membuktikan bahwa kebangkitan maupun pemulihan ekonomi sebenarnya tak pernah bisa lepas dari “polical will society” dimana keterlibatan masyarakat menjadi prasyarat utama.
Dalam konteks perekonomian Indonesia yang sedang dihantam keras dampak pandemi, ide tentang pemulihan ekonomi secara partisipatif menjadi sangat relevan.
Salah satu kampanye yang digembar-gemborkan sejak tahun lalu adalah gerakan nasional Bangga Buatan Indonesia yang oleh masing-masing instansi pemerintah diturunkan dalam konsep kerja konkret.
Di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) misalnya, Gernas BBI 2021 diturunkan dalam kampanye Beli Kreatif Danau Toba 2021 yang diharapkan mampu mendongkrak perekonomian Sumatera Utara sebagai salah satu dari lima destinasi super prioritas.
Sebuah potensi luar biasa besar dari kawasan Danau Toba untuk diangkat namun diikuti dengan pekerjaan rumah skala besar pula untuk mentradisikan suatu nasionalisme ekonomi.
Bukan saja bagi masyarakat di Sumut namun juga pemerintah dan seluruh bangsa ini.
Baca juga: Pemerintah bekali UMKM Sumut melek digital dukung Gernas BBI
Baca juga: Sejumlah produk unggulan UMKM di Tapanuli Utara masih perlu perhatian
Komitmen Pemerintah
CEO PT. Zyrexindo Mandiri Buana Timothy Siddik, pernah menyampaikan bahwa sampai saat ini komitmen bahkan dari kalangan pemerintah sendiri untuk menggunakan produk dalam negeri belum terlampau optimal.
Ia mencontohkan banyak instansi yang saat melakukan pengadaan barang dan jasa termasuk peralatan elektronik penunjang seperti laptop masih memilih produk asing.
Hal ini menjadi cermin bahwa gerakan apapun untuk membeli produk lokal itu semestinya bukan semata kampanye melainkan komitmen yang diwujudkan semua pihak.
Pemerintah bukan sekadar mengajak namun membuktikan untuk mengalihkan seluruh belanja program ke arah produk buatan lokal.
Terkait Beli Kreatif Danau Toba, sejatinya tak perlu bicara tentang potensi, sebab jika ingin menerapkan konsep hidup berdikari, masyarakat di sekitar Samosir bahkan seluruh bangsa ini punya segalanya.
Persoalannya terletak pada “polical will state” untuk tidak sekadar membangun dan meningkatkan minat masyarakat agar lebih mencintai, membeli, dan menggunakan produk-produk lokal yang dihasilkan oleh pelaku UMKM atau artisanal. Namun juga berkomitmen menerapkannya dalam kebijakan internal.
Sebagaimana batik yang menasional lewat gerakan, misalnya, kain khas Sumut seperti ulos dari Kampung Dairi yang unik bisa menjadi sasaran selanjutnya untuk dibatik hingga menjadi semacam identitas bangsa ini yang digunakan dalam setiap kesempatan.
Meski begitu langkah pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) layak mendapatkan apresiasi ketika program Beli Kreatif Danau Toba tak berhenti pada sekadar upaya kampanye.
Seperti yang disampaikan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Wamenparekraf) Angela Tanoesudibjo bahwa Kemenparekraf/Baparekraf akan melakukan pendampingan bagi artisan untuk "go digital" dan membuat berbagai macam festival untuk memperkenalkan karya-karya Danau Toba dan wilayah di Sumatra Utara lainnya.
Baca juga: BI targetkan 12 juta "merchant" gunakan QRIS dukung Gernas BBI 2021
Baca juga: Kampanye Beli Kreatif Danau Toba Fair 2021 promosikan artisan unggulan
“One Village One Product Creative”
Persoalan lain mengemuka ketika persoalan pasar dan komitmen telah berhasil diidentifikasi.
Implementasi di lapangan kemudian tak semudah seperti membalik telapak tangan ketika masalah pasokan di lingkup industri dan usaha lokal tak bisa terjaga baik.
Memang umumnya pelaku UMKM atau artisan masih berjibaku untuk bisa menyelesaikan persoalan kontinyuitas produk.
Setidaknya persoalan itulah yang ditemukenali oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno yang mendapati para pengrajin ulos di Kampung Ulos di Desa Silalahi, Silahisabungan, Dairi, Sumatera Utara, masih terbatas dalam memproduksi ulos padahal permintaan tinggi.
Oleh karena itu, Sandiaga ingin agar mereka menemukan inovasi atau cara terbaik untuk bisa meningkatkan produksi lebih tinggi lagi agar bisa memenuhi permintaan pasar.
Terlebih masyarakat di Kampung Ulos Silahisabungan sejatinya adalah masyarakat yang diberkati dengan keahlian menenun yang diwariskan nenek moyang mereka secara turun-temurun.
Tenun ulos adalah kebanggaan mereka yang mestinya bisa dikemas untuk dapat memberikan kemaslahatan dan kesejahteraan bagi masyarakat Dairi yang unik.
Menparekraf Sandiaga Uno memang tak tinggal diam, sampai ia kemudian mencanangkan program “one village one creative product” atau satu desa satu produk kreatif untuk menjadikan ulos sebagai produk kreatif yang dapat membuka lapangan kerja.
Produk kreatif menurut dia juga bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan saat berkunjung ke Danau Toba khususnya Kabupaten Dairi.
Meski begitu, ia masih harus terus mendorong semua pihak untuk mencari Inovasi dan solusi sehingga persoalan pasokan bisa diatasi dan pengrajin dapat meningkatkan hasil produksi, paling tidak 50 persen sehingga pendapatan mereka meningkat. Dan tak kalah penting mendorong program “one village one creative produk”.
Menurut Bupati Dairi Eddy Keleng Ate Berutu, dalam sejarahnya kampung ulos di Dairi memang penuh keunikan, sebagai daerah yang terdiri dari lima desa yang memiliki 400 pengrajin ulos yang bekerja setiap harinya menenun kain.
Semula masyarakat menenun untuk ulos adat dimana ulos tersebut banyak dipesan oleh masyarakat di kabupaten lain seperti Simalungun, Karo, dan lainnya termasuk ulos Pakpak dan ulos Toba. Namun dari waktu ke waktu belum bisa membawa kesejahteraan yang tinggi bagi para penenun.
Untuk itu pemerintah Kabupaten Dairi mengambil inisiatif melakukan diversifikasi produk, dari yang awalnya para penenun membuat ulos hanya dikonsumsi saat upacara adat, akhirnya mereka juga membuat ulos yang dapat digunakan dalam semua kesempatan.
Langkahnya dengan cara mencari benang-benang yang lebih halus dan lebih “stylish” agar dapat diproduksi menjadi produk yang lebih “fashionable”.
Para penenun di Kampung Silahisabungan mewarnai benang menggunakan pewarna alami, yang berasal dari tanaman-tanaman endemik di sana. Cairan hasil perasan tumbuhan direbus, lalu benang dicelup ke dalamnya berulang-ulang hingga merata dan maksimal.
Maka kehidupan mereka pun tergantung pada keberlanjutan alam sekitar Danau Toba sebagaimana nenek moyang mereka tergantung pada tanaman pewarna alam.
Di luar semua itu, menanamkan nasionalisme ekonomi sepertinya lebih mendesak di tengah pandemi ketika perekonomian bangsa ini harus segera dipulihkan dalam waktu sesegera mungkin. Belanja produk lokal disadari memanglah solusi terbaik.
Baca juga: Menparekraf dorong pengembangan ekonomi kreatif di sekitar Danau Toba
Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021