Aksi jual terjadi setelah saham AS jatuh semalam di tengah lonjakan imbal hasil obligasi pemerintah AS.
Saham Korea Selatan berakhir melemah tajam pada Jumat karena investor asing dan institusional melepas saham karena kekhawatiran tentang lonjakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS.
Indeks Harga Saham Gabungan Korea (KOSPI) turun 86,74 poin atau 2,80 persen menjadi menetap di 3.012,95. Volume perdagangan mencapai 1,34 miliar saham senilai 21 triliun won (18,7 miliar dolar AS).
KOSPI mengawali perdagangan dengan 0,33 persen lebih rendah dan melanjutkan penurunan awal karena investor luar negeri dan investor institusional lokal melepas saham masing-masing senilai 2,8 triliun won (2,5 miliar dolar AS) dan 1,0 triliun won (889,5 juta dolar AS).
Baca juga: Saham Korea Selatan menguat ikuti kenaikan di Wall Street
Aksi jual terjadi setelah saham AS jatuh semalam di tengah lonjakan imbal hasil obligasi pemerintah AS.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10-tahun berada di level 1,6 persen selama sesi semalam, catatan tertinggi dalam lebih dari setahun.
Dow Jones Industrial Average anjlok 1,75 persen, dan S&P 500 turun 2,45 persen. Indeks Komposit Nasdaq jatuh 3,52 persen.
Saham berkapitalisasi besar berakhir dengan catatan suram. Perusahaan kimia terkemuka LG Chem jatuh 6,6 persen, dan raksasa teknologi LG Electronics turun 4,9 persen. Raksasa chip memori SK hynix merosot 4,7 persen, dan pembuat baterai isi ulang Samsung SDI mundur 4,3 persen.
Baca juga: Bursa saham Asia dibuka menguat, kebijakan Fed tenangkan pasar
Penentu arah pasar Samsung Electronics turun 3,3 persen, dan produsen mobil terbesar Hyundai Motor tergelincir 3,3 persen. Samsung Biologics, unit farmasi Samsung Group, kehilangan 3,2 persen, dan raksasa biofarmasi Celltrion turun 3,4 persen.
Indeks KOSDAQ atas saham-saham kapitalisasi kecil turun 22,27 poin, atau 2,38 persen, menjadi ditutup pada 913,94.
Mata uang lokal berakhir pada 1.123,5 won terhadap dolar AS, turun 15,7 won dari penutupan sebelumnya. Mata uang Korea Selatan terdepresiasi tajam karena permintaan yang lebih lemah untuk aset berisiko.
Pewarta: Biqwanto Situmorang
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021