Anggota Komisi XI DPR RI Willy Aditya mendorong adanya insentif bagi industri Hasil Pengolahan Tembakau dan Lainnya (HPTL) karena berkontribusi bagi peningkatan penerimaan cukai negara.Harus fair menilai bahwa rata-rata pemasukan negara dari cukai tembakau juga besar, meskipun ada kritik terhadapnya
"Harus fair menilai bahwa rata-rata pemasukan negara dari cukai tembakau juga besar, meskipun ada kritik terhadapnya. Makanya perlu ada insentif inovasi bagi industri olahan tembakau untuk pengembangan produk agar dapat diterima publik," ujar Willy melalui keterangan di Jakarta, Rabu.
Berlaku efektif pada 2019, industri HPTL yang didominasi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) menyumbang penerimaan cukai senilai Rp426,6 miliar. Sementara tahun lalu, dalam kondisi pandemi, kontribusinya tumbuh sampai 60 persen menjadi Rp680,3 miliar.
Rantai pasok industri HPTL yang cukup kompleks disebut Willy, juga bisa jadi peluang untuk masuknya investasi lebih banyak. Dengan kompleksitasnya, insentif ke industri HPTL juga secara simultan bakal mendorong industri lain misalnya industri kimia, industri alat-alat kimia, sampai industri pengemasan.
Ia menambahkan Undang-Undang Cipta Kerja yang dihasilkan DPR bersama pemerintah, bisa jadi sarana mendorong investasi di sektor industri HPTL. Sekarang giliran pemerintah untuk memanfaatkan beleid tersebut sekaligus regulasi turunannya untuk menciptakan iklim investasi yang sederhana, mudah dan cepat, dan berperan aktif dalam menarik investor masuk ke tanah air.
"Industri tembakau harus dilihat dengan lebih terbuka, kita harus jujur dan adil menilai realitas, termasuk dalam hal produk hasil tembakau ini. Karena tujuan akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat," kata Willy.
Di sisi lain, pabrikan rokok, terutama yang besar dan memiliki sumber daya, dapat melirik peluang investasi di industri HPTL. Selain berkontribusi pada penerimaan negara, produk HPTL juga dinilai memiliki dampak eksternalitas yang lebih rendah.
Saat ini produk-produk HPTL dikenakan sistem tarif cukai persentase (ad valorem) sebesar 57 persen dari harga jual eceran (HJE). Sistem tersebut berbeda dengan yang diberlakukan atas produk rokok konvensional yang menggunakan sistem tarif cukai spesifik yang lebih sederhana.
Skema ad valorem sejatinya dirasa memberatkan para pelaku industri HPTL. Terlebih, besaran tarif 57 persen itu merupakan yang tertinggi dalam Undang-Undang Cukai dan lebih tinggi dari rerata persentase tarif cukai untuk rokok konvensional.
Produk-produk HPTL diklaim memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah dibandingkan rokok konvensional. Hasil penelitian Public Health England, divisi dalam Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris, pada 2015 dan 2018, serta diperbaharui pada 2020 yang menyatakan bahwa rokok elektrik memiliki risiko 95 persen lebih rendah dibandingkan dengan rokok konvensional.
Baca juga: Meski cukai naik, harga rokok di pasaran dinilai masih terjangkau
Baca juga: Industri HPTL dinilai berpotensi dapat insentif dari pemerintah
Baca juga: Penjualan lesu, asosiasi harap dukungan pemerintah untuk industri HPTL
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021