"Dalam penanggulangan COVID-19 ini, Jakarta mengutamakan 3T, tapi lebih dominan 'testing' dan gembar-gembor melebihi standar WHO, padahal 'testing' harus diikuti 'tracing'," kata Gilbert dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Gilbert menjelaskan kemampuan "tracing"
COVID-19 Jakarta belum ideal dan terkesan tidak terbuka dan hanya dimunculkan pada Mei 2020 dengan angka 1:3, yakni dari satu kasus positif dilakukan penelusuran pada tiga orang yang berhubungan.
Idealnya, kata Gilbert, penelusuran adalah di angka 1:33 seperti di negara maju, yakni Korea Selatan dan Taiwan yang menggunakan 3T (Testing, Tracing dan Treatment) sebagai cara mengatasi pandemi.
"Idealnya adalah 1:33, sementara data DKI hanya pernah muncul sekali 1:3 di Mei 2020. Selain itu 'testing' juga banyak duplikasi data karena tidak ada 'cleansing'. Orang yang bisa berkali-kali dites, artinya 'tracing' rendah," ujar Gilbert.
Baca juga: DKI Jakarta terus koordinasi dengan Kemenkes terkait virus corona baru
Baca juga: Jakarta bebas dari zona merah, Riza: Berkat kerja sama pusat-daerah elain itu, Gilbert juga berpendapat tingginya kasus COVID-19 di Jakarta yang tak kunjung usai selama pandemi ini juga karena berpolemik dengan pemerintah pusat. "Lebih banyak berpolemik dengan pusat sehingga energinya habis untuk hal ini," kata Gilbert.
Menurut mantan Wakil Ketua Ketua Regional South East Asia Regional Office International Agency for Prevention of Blindness WHO ini, Pemprov DKI juga lemah dalam mengawasi protokol kesehatan sehingga muncul banyak klaster pasar hingga perkantoran selama setahun COVID-19 merebak di Jakarta.
"Pengawasan yang tidak ketat dan banyak komunitas, seperti di pasar yang tidak taat protokol kesehatan, juga masyarakat yang kumpul-kumpul di lingkungan, pinggir jalan," kata Gilbert.
Baca juga: Sejumlah anggota DPRD DKI minta keluarganya turut divaksin COVID-19
Baca juga: Wagub DKI tolak usulan keluarga anggota DPRD DKI divaksin COVID-19
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2021