Ketua Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI), Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD mengatakan bahwa obesitas harus dipahami sebagai penyakit kronis yang kompleks, progresif, dan dapat kambuh (muncul kembali).
"Menganggap bahwa obesitas adalah akibat kesalahan individu karena terlalu banyak asupan dan kurang berolahraga adalah kekeliruan yang umum terjadi," kata Prof. Suastika melalui keterangan yang diterima ANTARA, Kamis.
"Pada kenyataannya, obesitas adalah berat badan berlebih yang diakibatkan oleh berbagai faktor genetik, psikologis, sosiokultural, ekonomi, dan lingkungan," imbuhnya.
Baca juga: Riset: Obesitas dapat memperparah COVID-19
Baca juga: Rekomendasi aktivitas fisik anak , termasuk saat akhir pekan
Prof. Suastika melanjutkan, begitu seseorang mengalami keadaan obesitas, keadaan ini akan menjadi masalah yang panjang, bahkan seumur hidup, dan kembalinya pertambahan berat badan umum terjadi.
Menambahkan, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Gizi Klinik Indonesia Prof. Dr. dr. Nurpudji Taslim, Sp.GK (K), MPH juga memaparkan mengenai peningkatan konsumsi makanan olahan, yang berperan besar dalam penambahan asupan tidak sehat yang masuk ke dalam tubuh.
"Makanan olahan seperti mie instan dan camilan yang digoreng biasanya memiliki harga yang terjangkau, mudah ditemukan, dan sangat dipromosikan, padahal makanan seperti itu tidak sehat karena berkalori tinggi dan bernutrisi rendah," kata Prof. Nurpudji.
"Sayangnya, lebih dari 60 persen orang dewasa mengonsumsi mi instan dan camilan yang digoreng setiap minggu. Anak-anak pada umumnya juga mengonsumsi makanan sehat dalam jumlah yang lebih sedikit dari yang mereka butuhkan, dan mereka mengonsumsi lebih banyak makanan tidak sehat, yang seharusnya mereka hindari," imbuhnya.
Pemicu penyakit
Prof. Suastika menekankan bahwa penyakit-penyakit kronis biasanya berhubungan dengan obesitas.
Obesitas sendiri telah dikaitkan dengan hampir 200 penyakit, beberapa di antaranya dapat mengancam jiwa, seperti diabetes, penyakit kardiovaskular, dan kanker.
Menurut data pada tahun 2016 di Indonesia, menunjukkan bahwa lebih dari 5 juta orang penyandang diabetes dan 11 juta orang dengan hipertensi juga mengalami kondisi kelebihan berat badan atau obesitas.
Prof. Nurpudji juga menambahkan bahwa obesitas adalah salah satu risiko terbesar untuk keparahan COVID-19.
"Kondisi obesitas ditambah paparan COVID-19 akan membuat seseorang berisiko 113 persen lebih tinggi untuk dirawat di rumah sakit, 74 persen lebih tinggi untuk harus menjalani perawatan ICU, dan 48 persen lebih tinggi terhadap risiko kematian," jelas dia.
Baca juga: Tiga cara periksa risiko kena penyakit tidak menular
Baca juga: Otoritas Oaxaca di Meksiko larang "junk food" dijual ke anak-anak
Tak hanya berdampak pada kesehatan individu, peningkatan kasus obesitas secara nasional pun berdampak pada ekonomi dan risiko finansial yang semakin mahal bagi negara.
Dengan lebih dari 800 juta orang di dunia yang mengalami obesitas, konsekuensi medis dari obesitas akan mencapai lebih dari 1 triliun dollar AS pada tahun 2025.
Terkait dengan dampak ekonomi yang mengkhawatirkan akibat obesitas, Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa obesitas mengurangi masa produktif sebanyak 6-10 tahun.
"Obesitas juga menyita 8-16 persen anggaran biaya kesehatan nasional. Pada 2016, dampak total (langsung dan tidak langsung) dari obesitas diperkirakan sebesar 2-4 miliar dolar AS," kata dr. Cut Putri Arianie, M.H.Kes., Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan RI.
Penanganan
Soal penanganan, Prof. Suastika menjelaskan bahwa seperti penyakit kronis lainnya, tidak ada solusi yang mudah untuk menangani obesitas.
Hal ini dikarenakan obesitas adalah penyakit multifaktor yang membutuhkan pendekatan dari berbagai segi, termasuk pengaturan nutrisi, aktivitas fisik, intervensi psikologis, dan juga obat-obatan atau tindakan operatif apabila dibutuhkan.
"Kita harus bergerak maju dari pendekatan awal yang sederhana seperti ‘kurangi asupan dan lebih banyak bergerak’. Kita harus mengatasi penyebab utama obesitas," kata Rektor Universitas Udayana Bali periode 2013-2017 itu.
Membahas lebih lanjut mengenai solusi komprehensif untuk menangani obesitas, Prof. Suastika mengingatkan bahwa diperlukan program-program dengan intervensi komunitas yang berskala besar dan melibatkan pemerintah, praktisi kesehatan, media, dan masyarakat.
"Fokus kita seharusnya adalah untuk menetapkan obesitas sebagai penyakit kronis yang serius dalam agenda kesehatan nasional dan meningkatkan edukasi gaya hidup sehat, termasuk di sekolah-sekolah," jelas dia.
Prof. Nurpudji menambahkan, mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat adalah kunci utama dari perawatan penderita obesitas.
"Modifikasi gaya hidup adalah dasar dari perawatan dan pencegahan penyakit kronis seperti obesitas. Seseorang dengan kondisi obesitas (IMT >25) harus segera mencari bantuan profesional untuk intervensi sesuai dengan kondisinya," kata Prof. Nurpudji.
"Obesitas dapat dicegah dengan pola makan sehat yang seimbang, berolahraga minimal 150 menit per minggu, dan memonitor IMT secara rutin," ujarnya menambahkan.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI juga telah mengembangkan Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) di masyarakat untuk memberikan edukasi tentang kebiasaan hidup sehat yaitu "CERDIK".
"CERDIK" sendiri meliputi: Cek kesehatan secara rutin, Enyahkan asap rokok, Rajin aktivitas fisik olah raga, Diet sehat dan seimbang, Istirahat cukup, dan Kelola stres.
Ada pula "Gerakan Masyarakat Hidup Sehat" (GERMAS) yang gencar dipromosikan oleh pemerintah demi masyarakat Indonesia yang lebih sehat.
Baca juga: Kemenkes: Obesitas di Indonesia kian alami peningkatan
Baca juga: Orang obesitas tak pasti kena diabetes, tapi aman dari penyakit lain?
Baca juga: Berat badan sehat, cegah obesitas sambil waspadai mitos berdiet
Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021