Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan pendekatan berbasis bentang alam untuk mengidentifikasi kekeringan yang terjadi di Kabupaten Blora, Jawa Tengah dan Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur tahun 2020.Pendekatan tersebut meliputi penggunaan data hujan dasarian, peta puncak kemarau dan analisis hidro-geomorfologis, guna menemukan cara dan tata kelola tepat untuk mengintervensi kekeringan
Pendekatan tersebut meliputi penggunaan data hujan dasarian, peta puncak kemarau dan analisis hidro-geomorfologis, guna menemukan cara dan tata kelola tepat untuk mengintervensi kekeringan di wilayah tersebut.
“Dari kasus Blora dan Kupang bisa saya sampaikan betapa pendekatan ”landscape” (bentang alam)ni menjadi penting juga dan memberikan intervensi yang tepat guna,“ ujar Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai KLHK Saparis Soedarjanto di Jakarta, Jumat.
Saparis menyinggung indeks kelangkaan air di Indonesia cenderung tinggi, meski disebut dengan negara yang basah. Menurut dia, tata kelola untuk mendorong upaya retensi air yang memadai perlu dievaluasi.
Baca juga: KLHK intensifkan patroli hutan cegah kebakaran
Dia memaparkan dari data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), menggunakan data hujan dasarian, tampak kawasan Blora dan Kupang cukup rendah curah hujannya.
Peta puncak kemarau 2020 di kedua daerah tersebut sebenarnya menunjukkan potensi retensi air, namun aspek lain mengintervensi, seperti faktor iklim. Sehingga menyebabkan wilayah tersebut kritis air.
“Ini jadi perhatian, saat kita mendorong retensi air dengan embung, dan sebagainya. Tidak serta merta kita pakai, karena kita harus lihat konfigurasi topografisnya, aspek geologinya secara utuh,” ujar Sapari.
KLHK pun melakukan analisa dari sisi ketersediaan air untuk tanaman dan pangan, kemudian analisa hidro-geomorfologi.
Sapari mencontohkan di Blora saat terjadi kekeringan, 3293 hektar materialnya berupa kedap air, perbukitan karst, dan jika air masuk ke sistem sungai bawah tanah, air tersebut akan menghilang. Selain itu, kapasitasnya untuk menahan air juga rendah.
Baca juga: Deforestasi Indonesia turun 75,03 persen pada periode tahun 2019-2020
“Blora berpotensi mengalami kelangkaan air pada kemarau, karena aspeknya banyak, hujannya, materialnya, batuannya, landscapenya. Ini ranah kita semua untuk memberikan solusi bencana hidro-geomofologis,” kata dia.
Sapari menekankan pentingnya mendayagunakan data dan informasi, sehingga inovasi teknologi kedepannya untuk mencegah bencana tersebut jadi efisien.
Rakornas PB BNPB 2021 pada hari ketiga mengusung materi “Hidrometeorologi Basah dan Kering, Perspektif Kebijakan dan Implementasi”.
Selain Menko Polhukam Mahfud MD, hadir sebagai pemberi arahan kebijakan adalah Menteri PUPR, perwakilan Menteri KLHK, perwakilan Menteri Pertanian dan perwakilan Menteri ATR/BPN pada sesi pertama.
Selanjutnya, untuk sesi kedua diisi oleh Kepala BMKG, Gubernur Provinsi Riau, Gubernur Provinsi Kalimantan Barat, Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan, Bupati Sumedang, dan Asops Panglima TNI.
Kegiatan itu dihadiri oleh peserta secara langsung maupun melalui media daring dari pemerintah daerah seluruh Indonesia, BPBD seluruh Indonesia, relawan, akademisi, media massa dan unsur komponen kementerian/lembaga serta TNI dan Polri.
Baca juga: KLHK klaim telah restorasi 3,2 juta lahan gambut
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2021