Negara Asia Tenggara itu telah jatuh ke dalam kekacauan sejak militer menggulingkan dan menahan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari.
Protes dan pemogokan telah mencekik bisnis dan melumpuhkan pemerintahan.
Menurut PBB, sudah lebih dari 50 pengunjuk rasa tewas --38 di antaranya pada Rabu (3/3). Para pengunjuk rasa menuntut pembebasan Suu Kyi dan penghormatan pada pemilihan November, yang dimenangkan partainya secara telak tetapi ditolak oleh tentara.
"Berapa banyak lagi yang bisa kita biarkan lolos atas tindakan yang dilakukan militer Myanmar?" Utusan Khusus Christine Schraner Burgener mengatakan pada pertemuan tertutup anggota Dewan Keamanan PBB, Jumat (5/3), menurut salinan sambutannya yang dilihat oleh Reuters.
"Sangat penting bahwa dewan ini bertindak tegas dalam memperingatkan pasukan keamanan dan berdiri teguh dengan rakyat Myanmar, untuk mendukung hasil pemilu November."
Juru bicara junta tidak menjawab panggilan untuk dimintai komentar.
Militer mengatakan pihaknya telah menahan diri dalam menghentikan protes, tetapi menyatakan tidak akan membiarkan aksi unjuk rasa mengancam stabilitas.
Pada Sabtu di Kota Dawei di selatan, pengunjuk rasa meneriakkan "Demokrasi adalah tujuan kami" dan "Revolusi harus menang".
Para pengunjuk rasa juga berkumpul di kota terbesar, Yangon.
Ratusan ribu orang turun ke jalan berkali-kali. Mereka bersumpah untuk melanjutkan aksi di negara itu, yang hampir setengah abad berada di bawah kekuasaan militer hingga reformasi demokrasi tercipta pada 2011 --namun terputus oleh kudeta.
"Harapan politik mulai bersinar. Kita tidak boleh kehilangan momentum revolusi," tulis salah satu pemimpin protes, Ei Thinzar Maung, di Facebook.
"Mereka yang berani bertarung akan mendapatkan kemenangan. Kita pantas menang."
Sedikitnya satu orang tewas oleh pasukan keamanan dalam demonstrasi pada Jumat.
Seorang pejabat Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi beserta remaja keponakan sang pejabat juga ditikam sampai mati oleh pendukung militer, media lokal melaporkan.
Tentara dan polisi Myanmar yang bersenjata dilaporkan menggunakan TikTok untuk menyampaikan ancaman pembunuhan terhadap pengunjuk rasa yang menentang kudeta militer, hingga mendorong pengelola aplikasi video singkat itu menghapus konten yang memicu kekerasan.
Kelompok hak digital Myanmar ICT for Development (MIDO) pada Kamis (4/3) mengatakan telah menemukan lebih dari 800 video pro militer yang mengancam pengunjuk rasa pada saat pertumpahan darah meningkat --dengan 38 pengunjuk rasa tewas pada Rabu (3/3), menurut penghitungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
"Ini baru puncak gunung es," kata Direktur Eksekutif MIDO Htaike Htaike Aung, yang mencatat bahwa ada "ratusan" video tentara dan polisi berseragam di TikTok.
Sumber : Reuters
Baca juga: AS blokir kementerian Myanmar, bisnis militer untuk berdagang
Baca juga: Tentara Myanmar gunakan TikTok untuk ancam pengunjuk rasa
Baca juga: Penyelidik HAM PBB serukan sanksi berat terhadap Myanmar
AS mengancam sanksi atas kudeta Myanmar
Pewarta: Azis Kurmala
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2021