"Artinya, perawat harus bisa memahami dengan benar karakteristik virus agar dapat menghindar atau jangan sampai tertular, dan jika terinfeksi tidak sampai parah, cukup di fase satu yang tidak ada risiko kerusakan apapun pascapenyembuhan," katanya di Jakarta, Selasa.
Berdasarkan hasil jurnal terbaru, tenaga perawat dan sumber daya masyarakat (SDM) kesehatan lainnya memiliki risiko tiga kali lipat lebih besar terinfeksi COVID-19 meskipun pada negara yang pengendalian virus corona baik sekalipun.
Baca juga: PPNI: Perlu pendekatan psikologis bagi yang punya trauma jarum suntik
Baca juga: Perawat jadi penerima vaksin COVID-19 pertama di Belanda
Mariya mengungkapkan banyak laporan dokter yang menyampaikan keluhan perawat khawatir tertular COVID-19. Perawat tidak memiliki tempat khusus ketika pulang ke rumah, padahal ada bayi di rumah, orang tua dengan komorbid (penyakit penyerta), yang berakibat perawat bekerja dengan mental dilema antara tuntutan keselamatan diri dan orang tua.
Ketua Bidang Advokasi Legislasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) itu mengatakan cara cerdas yang dapat dilakukan salah satunya dengan menjaga imunitas tubuh tetap prima serta tetap menerapkan protokol kesehatan.
Namun, permasalahan di Indonesia, terutama tenaga kesehatan, banyak yang tidak mengenali status kesehatan. Perawat merasa tidak punya riwayat gula darah tinggi dan hipertensi dan baru ketahuan setelah terinfeksi COVID-19.
"Makanya penting mengetahui status kesehatan kita, jika terinfeksi pun bisa teratasi dengan baik, dan sejauh data yang didapat saat ini, imunitas yang dibentuk dari vaksin atau pascainfeksi sekalipun sangat individual, sehingga meskipun sudah divaksin harus tetap protokol kesehatan agar tidak terinfeksi,” ujar dokter lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Mariya mengimbau perawat mengupayakan skrining komorbid, karena orang dengan komorbid, seperti kolesterol tinggi dan diabetes dengan kadar gula tinggi mudah terinfeksi.
Kemudian, jika terinfeksi COVID-19, pasien komorbid cenderung mudah sekali ke fase kritis dan untuk menurunkan kolesterol itu tidak bisa dalam satu dua hari, tapi bisa mencapai mungkin sampai tiga bulan.
Begitu juga dengan penderita diabetes melitus, Mariya menyarankan agar dilakukan pengecekan HB A1C. Penderita diabetes yang kadar gulanya stabil itu seperti orang biasa, tapi kalau gula darahnya tinggi dia memiliki tingkat risiko tinggi dan berpotensi masuk ruang ICU.
Satgas Bidang Perlindungan Tenaga Kesehatan, kata Mariya, berencana melakukan advokasi ke Kementerian Dalam Negeri agar program skrining komorbid untuk tenaga kesehatan yang dilaksanakan di setiap daerah masing-masing ditanggung Pemda karena ini sangat penting.
Baca juga: Hingga Selasa, 1.935.478 nakes sudah divaksin COVID-19
Baca juga: Hoaks! Empat nakes meninggal akibat vaksinasi COVID-19
"Bagi perawat yang memiliki komorbid jangan kecil hati. Asalkan terkontrol itu aman," ujar Mariya.
Ketua DPP PPNI Bidang Pelayanan Ati Suryamediawati mengatakan rata-rata perawat memiliki angka beban kerja sebanyak 7-8. Artinya kemampuan beban adaptasi perawat untuk melayani pasien COVID-19 mampunya dua sampai tiga pasien.
Anggota Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia ini mengatakan perawat merupakan tenaga kesehatan terbanyak dan paling lama kontak dengan pasien. Perawat juga memiliki banyak peran dalam menangani pasien.
Dosen Fakultas Keperawatan Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung itu mengatakan kunci perlindungan perawat, yakni melakukan tugas berdasarkan kode etik organisasi profesi, standar pelayanan, standar profesi dan standar operasional prosedur (SOP).
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021