• Beranda
  • Berita
  • Kepatuhan LHKPN sebagai langkah awal pencegahan korupsi

Kepatuhan LHKPN sebagai langkah awal pencegahan korupsi

19 Maret 2021 22:36 WIB
Kepatuhan LHKPN sebagai langkah awal pencegahan korupsi
Ilustrasi- Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) (Foto Antara/dok) (Foto Antara/dok/)
"Kalau masih bersenang-senang, ingin mewah-mewahan ya sudah jadi selebriti jadi pengusaha, tidak masalah. LHKPN dan lain-lain itu karena anda pejabat, kalau anda bukan pejabat tidak perlu LHKPN. Anda kemudian mendapat sumbangan dapat macam-macam tidak masalah tidak perlu dilaporkan".

Hal tersebut sempat dikatakan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron saat webinar pembekalan Pilkada Berintegritas 2020 beberapa waktu lalu.

Ghufron mengatakan, jika pejabat masih suka bersenang-senang dan bermewah-mewahan, maka seharusnya menjadi selebriti atau pengusaha yang tidak perlu memikirkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Undang-Undang memang mengatur bahwa penyelenggara negara wajib untuk melaporkan harta kekayaannya.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) mewajibkan penyelenggara negara untuk bersedia melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat, juga diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat.

Penyelenggara negara yang melanggar ketentuan tersebut dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Pasal 7 ayat 1 (a), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap LHKPN.

Kewenangan tersebut senantiasa terus dilakukan dalam rangka meningkatkan integritas dan membangun akuntabilitas penyelenggara negara sebagai salah satu upaya pencegahan tindak pidana korupsi.

Penyelenggara negara yang wajib menyerahkan LHKPN berdasarkan peraturan perundangan adalah: (1) Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; (2) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; (3) Menteri; (4) Gubernur; (5) Hakim; (6) Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan (7) Direksi, Komisaris dan pejabat struktural lainnya sesuai pada BUMN dan BUMD;

Selanjutnya (8) Pimpinan Bank Indonesia; (9) Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri; (10) Pejabat Eselon I dan II dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; (11) Jaksa; (12). Penyidik; (13) Panitera Pengadilan; dan Pemimpin dan Bendaharawan Proyek;

Baca juga: KPK surati 239 penyelenggara negara terkait LHKPN tidak lengkap

Kemudian (14) Semua Kepala Kantor di lingkungan Departemen Keuangan; (15) Pemeriksa Bea dan Cukai; (16) Pemeriksa Pajak; (17) Auditor; (18) Pejabat yang mengeluarkan perijinan; (19) Pejabat/Kepala Unit Pelayanan Masyarakat; dan (20) Pejabat pembuat regulasi.

Dalam kinerja KPK 2020, KPK mencatat sepanjang tahun 2020 berhasil mendorong kepatuhan penyampaian LHKPN menjadi 96,23 persen dari sebelumnya 93 persen pada periode yang sama tahun 2019.

Tingkat kepatuhan 96,23 persen itu dapat tercapai antara lain karena KPK melakukan 185 kegiatan sosialisasi, pelatihan, dan bimbingan teknis secara rutin sepanjang tahun 2020.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengharapkan LHKPN dapat lebih berdaya guna sebagai instrumen pengawasan, menimbulkan keyakinan pada diri penyelenggara negara bahwa laporan mereka diperiksa dan diawasi serta pada akhirnya meningkatkan kepercayaan publik kepada integritas penyelenggara negara yang telah melaporkan harta kekayaannya.

Untuk kepatuhan LHKPN Tahun Pelaporan 2020, KPK juga telah menerbitkan Surat Edaran (SE) No 93 Tahun 2021 tertanggal 7 Januari 2021 tentang Penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Tahun Pelaporan 2020.

Melalui surat edaran tersebut, KPK mengimbau seluruh pimpinan instansi eksekutif, yudikatif, legislatif maupun BUMN/BUMD untuk mengingatkan seluruh wajib LHKPN di lingkungannya agar segera menyampaikan LHKPN secara tepat waktu.

Adapun LHKPN disampaikan melalui aplikasi elhkpn.kpk.go.id paling lambat 31 Maret 2021.

Selain itu, dengan terbitnya Peraturan KPK No 2 Tahun 2020 tentang perubahan atas Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi No 7 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, KPK mengimbau pimpinan instansi untuk menyesuaikan regulasi internal terkait LHKPN sesuai dengan Peraturan KPK terbaru tersebut.

Ada beberapa ketentuan yang diatur dalam perubahan peraturan tersebut, diantaranya tidak lagi diperlukan salinan dokumen kepemilikan harta kekayaan pada lembaga keuangan.

Namun, penyelenggara negara wajib menyampaikan dokumen asli surat kuasa (lampiran 4) atas nama penyelenggara negara, pasangan, dan anak tanggungan yang berusia lebih dari 17 tahun. Masing-masing surat kuasa bertanda tangan di atas meterai Rp10.000. Peraturan baru juga menetapkan hanya terdapat satu macam tanda terima, yaitu "tanda terima lengkap".

Oleh karena itu, KPK mengimbau penyelenggara negara harus memastikan laporan harta yang disampaikannya sudah benar, jujur, dan lengkap.

Jika hasil verifikasi dinyatakan tidak lengkap maka penyelenggara negar wajib menyampaikan kelengkapan tersebut maksimal 30 hari sejak diterimanya pemberitahuan bahwa LHKPN yang disampaikan masih perlu dilengkapi.

Sedangkan jika hingga batas waktu kelengkapan tersebut tidak dipenuhi maka KPK akan mengembalikan laporan tersebut dan penyelenggara negara dianggap tidak menyampaikan LHKPN.

Baca juga: KY gandeng KPK telusuri rekam jejak kepatuhan LHKPN calon Hakim Agung

Apresiasi
KPK pun mengapresiasi 21 instansi yang telah memenuhi 100 persen kepatuhan LHKPN dengan status kelengkapan dinyatakan lengkap per 22 Februari 2021.

Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding mengatakan meski batas waktu LHKPN periodik Tahun Pelaporan 2020 hingga 31 Maret 2021 mendatang, seluruh wajib lapor pada 21 instansi tersebut telah melaksanakan kewajibannya sebelum batas waktu secara tertib dan lengkap.

KPK juga telah melakukan verifikasi atas laporan yang disampaikan dan juga telah mengumumkannya pada laman elhkpn.kpk.go.id

KPK juga mengapresiasi inisiatif dari beberapa instansi yang memajukan tenggat waktu pelaporan dengan beragam sanksi administratif untuk mendorong kepatuhan lapor di lingkungan instansinya.

21 instansi tersebut, yaitu Pemkab Tapanuli Selatan (693 wajib lapor), Pemkab Karo (334 wajib lapor), Pemkot Gorontalo (213 wajib lapor), Pemkab Boyolali (204 wajib lapor), Pemkab Bombana (193 wajib lapor), Pemkab Tapanuli Utara (99 wajib lapor), DPRD Kabupaten Brebes (50 wajib lapor), DPRD Kabupaten Boyolali (45 wajib lapor), Pemkab Sanggau (44 wajib lapor), DPRD Kabupaten Tapanuli Selatan (35 wajib lapor), DPRD Kabupaten Halmahera Selatan (30 wajib lapor).

Selanjutnya, DPRD Kabupaten Soppeng (30 wajib lapor), DPRD Kabupaten Alor (30 wajib lapor), DPRD Kota Gorontalo (25 wajib lapor), DPRD Kota Barru (25 wajib lapor), DPRD Kota Prabumulih (25 wajib lapor), DPRD Kabupaten Pulau Morotai (20 wajib lapor), DPRD Kabupaten Nias Barat (20 wajib lapor), PD Kabupaten Pati (delapan wajib lapor), PDAM Tirta Berkah Kabupaten Pandeglang (satu wajib lapor), dan PT Cemani Toka (satu wajib lapor).

Imbauan
Di sisi lain, Ipi mengatakan lembaganya juga telah menyurati 239 penyelenggara negara terkait LHKPN Tahun Pelaporan 2020 yang tidak lengkap.

Berdasarkan pemeriksaan secara acak, KPK menemukan masih banyak penyelenggara negara yang tidak sepenuhnya melaporkan harta yang dimilikinya.

KPK pun meminta agar penyelenggara negara melengkapi harta yang tidak dilaporkan selama periode pemeriksaan untuk dilaporkan dalam laporan e-LHKPN periodik Tahun Pelaporan 2020 dengan batas waktu penyampaian 31 Maret 2021.

Berdasarkan catatan KPK, dari pemeriksaan yang dilakukan di tahun 2020 terdapat 239 penyelenggara negara yang menyampaikan LHKPN secara tidak lengkap dan benar.

Sebanyak 239 penyelenggara negara tersebut terdiri atas 146 penyelenggara negara atau sekitar 61 persen berasal dari instansi daerah, 82 penyelenggara negara atau sekitar 34 persen dari instansi pusat, dan sisanya 11 penyelenggara negara atau sekitar 5 persen dari BUMN.

Berdasarkan kelompok jabatan, kepala dinas merupakan jabatan yang paling banyak tidak melaporkan hartanya secara lengkap, yaitu sebanyak 46 penyelenggara negara.

Di urutan kedua adalah kepala kantor pajak pada Kementerian Keuangan, yaitu 33 kepala kantor. Berikutnya, adalah kepala badan, yaitu berjumlah 31 kepala badan yang berasal dari beberapa daerah. Selanjutnya, adalah bupati berjumlah 18 orang.

Sementara jenis harta yang KPK temukan paling banyak tidak dilaporkan adalah kas dan setara kas. Penyelenggara negara umumnya lalai dalam melaporkan kepemilikan rekening simpanan.

Dalam pemeriksaan tersebut, KPK menemukan 917 rekening simpanan yang belum dilaporkan oleh 203 penyelenggara negara dari 239 penyelenggara negara atau sekitar 84 persen. Kemudian sebanyak 390 harta tidak bergerak juga tidak dilaporkan oleh 109 penyelenggara negara atau sekitar 45 persen.

Urutan berikutnya, jenis harta yang terlewatkan dalam pengisian LHKPN adalah harta bergerak lainnya. Yang termasuk kategori ini misalnya adalah polis asuransi yang memiliki nilai investasi. KPK mencatat 195 polis asuransi belum dilaporkan oleh 35 penyelenggara negara atau sekitar 14 persen.

Penyelenggara negara diharapkan mempunyai komitmen serius untuk patuh melaporkan harta kekayaannya demi terciptanya integritas dan juga sebagai langkah awal pencegahan korupsi.

Baca juga: KPK: Kepatuhan LHKPN 2020 capai 96,23 persen

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021