Dengan dilanjutkannya pembangunan proyek strategis ini diumumkan langsung oleh Gubernur Jawa Barat M Ridwan Kamil di Gedung Negara Pakuan Bandung, Selasa, seusai memilih mitra baru yang berasal dari Jerman.
Kali ini Pemprov Jabar memilih mitra baru yakni Euwelle Environmental Technology (EET) dari Jerman.
Sebelumnya, pembangunan TPPAS Lulut Nambo yang dilakukan sejak tahjn 2017 ini dilakukan konsorsium Panghegar Energy Indonesia yang membentuk perusahaan khusus (special purpose company) bersama PT Jasa Sarana, yakni PT Jabar Bersih Lestari (JBL) dengan mekanisme kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU).
Akan tetapi, karena adanya kendala biaya serta teknologi yang tidak tepat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat akhirnya memilih EET.
"Jadi ini adalah arahan saya, memberhentikan investor terdahulu," kata Emil.
Baca juga: DPRD Jabar sosialisasikan TPPAS Nambo ke relawan bank sampah
Pihaknya memastikan pemilihan investor baru ini berdasarkan kajian matang, terutama dengan mempertimbangkan teknologi yang akan digunakan.
"Kami memilih lebih teliti. Jangan terbuai oleh hal luar biasa, ternyata enggak ada uang, teknologi ngaco dan lain-lain," kata Ridwan Kamil yang akrab disapa Emil..
Emil berharap dengan investor baru ini maka pembangunan TPPAS Lulut Nambo bisa segera beroperasi dengan menerapkan teknologi yang tepat yakni Maximum Yield Technology (MYT).
MYT ini dapat mengekstraksi potensi energi maksimum dari sampah rumah tangga dengan kombinasi teknologi pengolahan inovatif yaitu mechanical separation dan biological drying yang menghasilkan RDF, kompos dan biogas.
Baca juga: Pemkot Bogor desak Tepat Penampungan Sampah Nambo segera beroperasi
"Kami akan melihat komitmen pengerjaan. Jika sukses, ini akan ada lagi. Kita butuh 3-4 proyek yang sama, sehingga Jawa Barat dikenal sebagai provinsi ramah lingkungan. Tak ada sampah tak didaur ulang. Semua kita bereskan dan bernilai uang," katanya.
Emil menyontohkan pihaknya akan menyiapkan pembangunan TPPAS di Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Kuningan, dan Kabupaten Majalengka.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat Prima Mayaningtias mengatakan pembangunan TPPAS Lulut Nambo ini dilakukan sejak tahun 2017 dengan mekanisme kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU).
Menurut Prima saat itu lelangnya dimenangkan konsorsium Panghegar Energy Indonesia yang membentuk perusahaan khusus (special purpose company) bersama PT Jasa Sarana, yaitu PT Jabar Bersih Lestari (JBL).
Namun, dalam perjalanannya PT JBL gagal memenuhi target operasional (commercial operation date) pada Juni 2020 akibat terkendala biaya.
"Tapi kami terus berkomitmen untuk membantu permasalahan pengelolaan sampah di Wilayah Kabupaten Bogor, Kota Bogor dan Kota Depok serta Kota Tangerang Selatan. Makanya terus membangun TPPAS Regional Lulut Nambo," katanya.
Dengan dilanjutkannya pembangunan tersebut, menurutnya kini PT JBL melanjutkan pembangunan TPPAS Regional Lulut Nambo dengan mengubah struktur kepemilikan sehingga PT Jasa Sarana menjadi pemegang saham pengendali (mayoritas).
Setelah menjadi pemegang saham mayoritas, BUMD tersebut mencari mitra strategis untuk berkerjasama dalam melanjutkan pembangunan dan pengelolaan proyek strategis itu.
"Dipilihlah mitra asal negara Jerman yaitu Euwelle Environmental Technology (EET). Dengan total investasi 133,3 juta dolar," katanya.
Menurut dia pemilihan EET berdasarkan sejumlah penilaian, salah satunya terkait teknologi yang digunakan.
Perusahaan Jerman itu dianggap sudah menerapkan Maximum Yield Technology (MYT) di beberapa negara Asia Tenggara seperti Vietnam dan Thailand.
Teknologi MYT ini dianggap tepat karena sesuai dengan rencana pengolahan sampah menjadi RDF (refuse derived fuel) yakni bahan bakar alternatif pengganti batu bara yang sesuai dengan kontrak jual beli yang telah dilakukan bersama PT Indocement.
"Jadi perusahaan Jerman ini sudah berpengalaman. Selain itu pemilihan mitra ini juga melalui proses bisnis (corporate action) yang transparan dan melibatkan seluruh stakeholder di Pemerintah Provinsi Jawa Barat, serta melibatkan tenaga ahli teknis maupun manajemen," katanya.
Saat disinggung pembiayaan pembangunan TPPAS Lulut Nambo, menurutnya bersumber dari sejumlah mitra pendanaan seperti PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF), PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), dan Bank BJB.
Adapun sumber pendapatan (revenue) antara lain berasal tipping fee yang akan dibayarkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat, hasil penjualan RDF, hasil pengolahan lainnya.
Menurutnya, untuk besaran tipping fee yang akan dibebankan ke kabupaten/kota sebesar Rp125 ribu per ton.
"Konstruksi TPPAS Regional Lulut Nambo akan dilanjutkan kembali pada pertengahan tahun 2021 dan diharapkan akan beroperasi secara optimal pada akhir tahun 2021," katanya.
Perwakilan EET memastikan pihaknya akan komitmen dalam membangun TPPA, terlebih, hal ini bukan yang pertama karena sudah dilakukannya di sejumlah negara lain seperti Thailand dan Vietnam yang memiliki karakteristik yang sama dengan Indonesia.
Perusahaan asal Jerman ini sudah menyusun rencana kerja yang akan dilakukan dan nantinya akan dilakukan pembahasan bersama pemerintah kabupaten/kota bersama PT Indocement selaku pembeli RDF.
"Dengan begitu, mereka berkomitmen untuk mengerjakan proyek ini sehingga optimistis sudah bisa dioperasikan pada akhir 2021," kata Prima.
Pewarta: Ajat Sudrajat
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021