Dana pekerja yang diinvestasikan di pasar modal dinilai aman dan prospektif jika dikelola sesuai ketentuan investasi dengan memilih instrumen yang tepat.Pengelolaan dana di pasar modal diawasi oleh OJK dan Securities Investor Protection Fund
Ekonom dan Staf Ahli Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ryan Kiryanto mengatakan, OJK berkomitmen penuh menjamin keamanan investasi di pasar modal melalui kebijakan yang berorientasi bagi perlindungan investor.
"Pengelolaan dana di pasar modal diawasi oleh OJK dan Securities Investor Protection Fund atau SIPF. SIPF merupakan lembaga perlindungan dalam mengatasi masalah investasi yang hilang akibat adanya penipuan, sehingga memberikan rasa aman dan nyaman bagi para investor dalam berinvestasi di pasar modal Indonesia," ujar Ryan dalam keterangan di Jakarta, Selasa.
Seperti diketahui bahwa dana para pekerja di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mencapai Rp472,9 triliun. Sebanyak 65 persen atau setara dengan Rp307,38 triliun dana tersebut diinvestasikan ke surat utang sebagai aset investasi di pasar modal.
Sedangkan Rp70,9 triliun (15 persen) diputar di bursa saham sebagai aset jangka panjang. Kemudian Rp52 triliun (11 persen) disimpan dalam bentuk deposito sebagai investasi untuk menjaga kebutuhan likuiditas jika ada peningkatan klaim.
Di samping itu, sebanyak 8 persen dibelanjakan produk reksa dana dan sisanya sebesar satu persen ditanam dalam bentuk properti dan penyertaan modal.
Dalam Pedoman Pengelolaan Investasi BPJS Ketenagakerjaan telah tertuang kriteria dan aturan main perdagangan saham. Secara umum, BPJS Ketenagakerjaan memilih investasi di kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45.
Berdasarkan data Agustus-September 2020, BPJS Ketenagakerjaan mengalami kerugian yang belum terealisasi (unrealized loss) hingga Rp43 triliun. Lalu, pada akhir Desember 2020 angkanya turun menjadi Rp22,31 triliun, dan pada posisi Januari 2021 tinggal Rp14,42 triliun.
Pada akhir Februari sempat Rp24 triliun, namun pada 19 Maret turun lagi jadi Rp23,8 triliun. Ryan menuturkan potensi kerugian bisa naik dan bisa turun, tergantung harga saham di pasar modal yang menjadi portofolionya.
Jika kondisi baik, ekonomi baik, kemungkinan harga saham juga bergairah. Sebaliknya, kalau ekonomi sedang terpuruk, seperti di awal-awal pandemi COVID-19, Maret 2020 lalu, harga saham berguguran. Namun, ketika mulai membaik dan banjir likuiditas maka harga saham kembali "terbang".
Terkait saham, pengamat ekonomi sekaligus investor di pasar modal Hasan Zein Mahmud menyarankan investor untuk lebih hati-hati jika perusahaan yang bisnisnya memburuk, memiliki utang besar, dan sahamnya mudah digoreng.
"Jika bisnis memburuk dan diperkirakan berlangsung lama, maka investor harus mulai hati-hati," ujar Hasan.
Menurut Hasan, jika perusahaan memiliki utang yang besar, maka ekspektasi return on equity (ROE) akan lebih kecil dari imbal hasil (yield) obligasi, maka investor harus lebih waspada terhadap saham tersebut.
"Jangan ragu untuk melakukan cut loss untuk menghindari kerugian yang lebih besar," kata Hasan.
Ciri-ciri lain saham yang harus dihindari adalah tidak likuid, harganya sering kacau, spread yang lebar dan mudah sekali digoreng. Saham gorengan adalah saham yang naik dan turunnya harga yang direkayasa demi mendapatkan keuntungan jangka pendek.
Saham ini kualitasnya buruk bahkan berisiko tinggi merugikan para investornya. Ada oknum yang memainkan pergerakan saham dan seolah-olah emiten tersebut memiliki fundamental yang bagus, ditawarkan dalam harga murah sekaligus memberikan iming-iming keuntungan yang besar, katanya.
Baca juga: Ekonom: Kasus investasi BPJAMSOSTEK berbeda dengan Jiwasraya
Baca juga: Menaker minta percepat integrasi data Kemnaker dan BPJS TK
Baca juga: Ekonom: Unrealized loss BPJAMSOSTEK wajar sebagai risiko investasi
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021