Tanggapi kesehatan mental dengan empati

24 Maret 2021 09:24 WIB
Tanggapi kesehatan mental dengan empati
Ilustrasi (Pexels)

Hindari bercandain ya. Karena ini masalah serius dan lagi-lagi kita tidak tahu cerita utuhnya dan proses dia di balik itu

Secuplik video berisi komentar juri terhadap kontestan acara Indonesia Next Top Model yang membuka diri soal depresi di masa lalu menjadi perbincangan warganet yang sebagian menganggap juri tidak peka.

Psikolog klinis dewasa Muthmainah Mufidah, M.Psi. mengatakan, seseorang harus berempati ketika menghadapi orang yang membuka diri soal masalah kesehatan mental.

Baca juga: Pangeran Harry jadi chief impact officer perusahaan kesehatan mental

"Bayangkan kalau kita yang ada di posisi itu bagaimana? Ini bisa membuat kita lebih hati-hati merespons," kata Co-founder Arsanara Development Partner kepada ANTARA, Rabu.

Tanggapilah dengan menggunakan kata-kata netral atau kata-kata yang sudah disebut oleh orang tersebut ketika menceritakan masalahnya tanpa menambahkan pandangan pribadi kita.

"Misal, 'Oh kamu saat itu sedang merasa enggak enak ya, didiagnosa gangguan depresi.' Mengulangi perkataannya juga bisa menjadi tanda bahwa kita mendengarkan dengan baik," jelas psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Bila ingin bertanya mengenai hal tersebut, ajukanlah pertanyaan terbuka agar dia punya ruang untuk bercerita. Sebaiknya jangan membuat pertanyaan yang hanya mengundang ruang untuk Anda berkomentar.

Ketika mulai mendengarkan cerita orang yang sedang membuka diri, hindarilah konfrontasi, membantah atau melawan. Sebab, langkah pertama dari penanganan kesehatan mental adalah menyadari dan menerima. Akan lebih baik bila Anda membantu orang tersebut menerima kondisinya, bukan melakukan konfrontasi.

Baca juga: Anak muda alami penurunan kondisi mental selama pandemi

"Karena untuk menerima saja sudah tidak mudah, apalagi jika lingkungan menyudutkan, membantah. Di terapi memang ada teknik konfrontasi ini, tapi dilakukan oleh profesional dan disesuaikan dengan kondisi kliennya juga setelah  assessment.

Jika memang Anda tak tahu respons yang tepat, lebih baik bicara jujur dan mengatakan bahwa Anda bukan ahli dan tidak berpengalaman. Anda juga bisa menawarkan bantuan apa yang bisa diberikan, atau tanyakan respons yang diharapkan dari diri kita.

"Karena kebutuhan orang kan berbeda-beda dan tujuan bercerita juga bisa beda-beda."

Tidak perlu langsung memberi petuah di awal, sebab belum tentu itu yang dibutuhkan oleh orang yang bercerita, lagipula Anda pun belum mengetahui cerita yang seutuhnya. Bila ingin memberikan saran, minta izin terlebih dahulu kepada orang tersebut, atau berikan bila memang diminta. Langkah selanjutnya adalah arahkan untuk berkonsultasi ke psikolog atau psikiater untuk mendapat bantuan secara profesional.

Satu hal yang tak kalah penting adalah tidak merespons dengan gurauan.

"Hindari bercandain ya. Karena ini masalah serius dan lagi-lagi kita tidak tahu cerita utuhnya dan proses dia di balik itu."

Bersikap hati-hati dan peka penting ketika menanggapi soal kesehatan mental, sebab berbeda dari luka fisik, luka batin tidak terlihat dari luar. Proses penyembuhannya pun tidak bisa dilihat secara jelas seperti luka fisik.

Oleh karena itu, mengonfrontasi secara langsung bukan respons yang bijak. Meski sudah sembuh atau membaik, tetap ada kemungkinan gangguan itu terpicu muncul kembali.

Dia berharap orang-orang bisa lebih bijak dalam menanggapi masalah kesehatan mental dan tidak serta merta meniru bentuk respons yang kurang baik.

Baca juga: Jalani hidup tanpa panik ala "JOMO" dari Tanya Dalton

Baca juga: Tidur berkualitas tingkatkan kesehatan mental dan fisik

Baca juga: Cara pulihkan psikis setelah terpapar COVID-19

 

Menghadapi stigma
Rania (bukan nama sebenarnya) butuh waktu bertahun-tahun untuk meminta bantuan profesional demi menangani gangguan cemas yang kian menyerang. Kepada ANTARA, karyawan sebuah perusahaan di Jakarta ini tidak menyadari rasa cemas yang mendadak menerpa sejak beberapa tahun lalu sebetulnya merupakan serangan panik.

"Saya kira cuma jantung berdebar-debar saja," kata Rania.

Beberapa tahun terakhir, pembahasan mengenai kesehatan mental semakin banyak dan muncul keinginan untuk berkonsultasi kepada psikiater. Namun keinginan itu tak kunjung dilaksanakan lantaran dia merasa ragu dan masih ada rasa takut.

Baca juga: Psikolog: Kenali gejala "burn out" dan cara mengatasinya

Tahun lalu, kejadian yang tidak mengenakkan di kantor sempat membuatnya tidak beranjak dari tempat tidur selama dua hari, bahkan nafsu makan pun sama sekali tidak muncul. Rambutnya rontok dan berat badannya turun.

"Akhirnya saya memaksakan ke psikiater, tapi itu juga karena bisa secara daring. Jadi saya ikut konseling pertama tahun 2020," kata Rania yang pernah mencoba pergi langsung ke rumah sakit, tapi suasana di sana membuat rasa cemasnya menjadi-jadi sehingga memutuskan mencari bantuan secara daring.

Berkonsultasi kepada ahlinya tidak serta merta membuat gangguan cemasnya hilang, tapi gejala itu mereda meski kadang-kadang bisa kambuh kembali. Oleh karena itu, di menyayangkan bila ada respons tidak tepat ketika seseorang bicara mengenai kesehatan mental.

"Yang paling sedih itu ketika keluhan atau cerita kita tidak dipercaya oleh orang lain, bisa drop dan mungkin saja relapse," ungkap dia.

Awalnya, orangtuanya sendiri tidak mengerti dan mempercayai bahwa buah hati mereka mengalami gangguan cemas. Gejala-gejala yang dirasakan dianggap buah dari terlalu banyak memikirkan hal sepele, bahkan karena kurang dekat dengan agama. Lama kelamaan mereka mulai mengerti dan turut membantunya mengatasi hal ini.

Baca juga: Lonjakan kasus bunuh diri akhiri penurunan 10 tahun terakhir di Jepang

Stigma kesehatan mental di kantor juga masih terasa, ungkapnya. Sebelum konseling pertama, dia harus meminta surat keterangan sakit mental yang akan diberikan ke kantor tempatnya bekerja agar memahami kondisinya.

"Dokternya enggak mau langsung keluarin suratnya, saya disuruh pikir-pikir dulu karena takut saya kena stigma di kantor dan berdampak ke pekerjaan saya. Masalahnya, karena fisik kelihatan sehat, jadi orang tidak percaya kita sakit."

Masalah kesehatan mental yang kini semakin bebas dibicarakan menjadi angin segar untuknya. Dulu, berobat ke psikiater dan psikolog dianggap memalukan. Tapi seiring dengan munculnya kesadaran mengenai kesehatan mental, orang-orang kini bisa lebih terbuka memeriksakan kesehatan mentalnya kepada orang yang profesional tanpa harus menutupi fakta tersebut.

"Karena sebenarnya sama saja kan, kalau kamu pusing ya ke dokter, kalau kamu merasa depresi atau cemas ya ke dokter jiwa. Kenapa harus dibedakan ke dokter yang satu lumrah, terus ke dokter yang satu lagi jadi aib?" ucap dia.

Berdasarkan pengamatan psikolog Muthmainah Mufidah, saat ini sebagian orang sudah mulai melek mengenai pentingnya kesehatan mental. Mulai banyak orang yang membaca mengenai kesehatan mental, mengikuti kelas-kelas atau bertanya langsung kepada pakar. Dibandingkan generasi sebelumnya, saat ini semakin banyak orang yang menyadari perihal kesehatan mental.

Kendati demikian, masih banyak juga orang yang belum memahami lantaran masih fokus memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan. Masih ada orang yang tidak punya akses literasi kesehatan mental. Ketidaktahuan itu membuat stigma masih ada di tengah masyarakat.

"Atau tidak tahu harus ngapain, jadi tidak bisa menghadapi atau menanggapi orang dengan masalah kesehatan mental dengan sesuai," kata Mufidah.

Dia menegaskan, sebetulnya kesehatan mental adalah kebutuhan dasar setiap orang sama seperti kesehatan fisik. Keduanya saling berkaitan erat.

"Tidak ada sehat tanpa sehat mental."

Baca juga: Pandemi yang menimbulkan kelelahan emosi

Baca juga: Manfaat mencorat-coret untuk kesehatan mental

Baca juga: Kasih sayang orang tua pengaruhi kesehatan mental anak masa pandemi

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021