Milenial pun terjun sebagai petani

24 Maret 2021 22:31 WIB
Milenial pun terjun sebagai petani
Bertanam sayuran bisa menjadi peluang bagi petani milenial. (ANTARA/Ganet Dirgantoro)
Usia maksimal petani memang beragam di berbagai daerah, bahkan ada yang menyebut 60 tahun masih sanggup untuk bekerja di kebun.

Tapi ada juga yang beranggapan sudah saatnya purnatugas dan menyerahkan kepada generasi penerus.

Di luar negeri, usia petani juga memiliki batasan. Usia 57 tahun sudah dianggap terlalu rendah produktivitasnya. Dalam usia tersebut seharusnya sudah saatnya menyerahkan ke generasi penerus.

Managing Director PT East West Seed Indonesia (Ewindo) Glenn Pardede mengatakan dengan asumsi produktivitas petani di usia 57 tahun. Berarti yang seharusnya melanjutkan merupakan generasi milenial dengan rentang usia 25 sampai dengan 40 tahun.

Data dari produsen benih sayuran ini, dari 33 juta petani di Indonesia saat ini, hanya delapan persen merupakan petani milenial. Sedangkan sisanya mayoritas yang bekerja di pertanian saat ini berusia 51 tahun ke atas.

Salah satu keunggulan dari petani milenial ini, ungkap Glenn, mayoritas menguasai teknologi informasi (IT). Bahkan petani milenial ini sanggup mengetahui daerah-daerah mana saja yang membutuhkan produksi mereka dengan berbekal ponsel pintar.
Jagung manis bisa menjadi komoditi yang diminati (Foto ANTARA/ Ganet Dirgantoro)

Glenn mengatakan sebagai perusahaan yang telah puluhan tahun mendampingi petani sayuran di Indonesia, merasa terpanggil untuk mendorong generasi milenial tertarik untuk menekuni bisnis pertanian.

Langkah yang sudah dilakukan antara lain adalah pembinaan dan pendampingan petani muda di berbagai daerah, pemanfaatan teknologi informasi dan pengembangan aplikasi pertanian "Sipindo" serta membangun jejaring antara petani dengan pasar modern.

Tahun 2021, pihaknya menargetkan dapat membina sekitar 500 petani milenial yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Selain pendampingan, transfer teknologi dan akses terhadap benih sayuran yang berkualitas tinggi, melalui aplikasi "Sipindo" mereka dapat mengelola bisnis pertanian dengan lebih baik dan semakin menguntungkan dan diharapkan akan menular ke generasi muda lainnya.

Selain itu, Ewindo juga terus memperluas toko-toko benih untuk memudahkan petani termasuk petani perkotaan mendapatkan benih berkualitas. Tak hanya itu, bekerjasama dengan toko daring benih-benih varietas unggulan kini dengan mudah diperoleh.

Glenn juga menyatakan dukungannya terhadap langkah sejumlah pemerintah daerah yang tengah mendorong generasi muda untuk masuk ke sektor pertanian. Salah satunya Provinsi Jawa Barat dengan gerakan "5.000 petani milenial". Regenerasi petani ini merupakan program penting untuk memperkuat ketahanan pangan nasional.

Baca juga: Jabar siapkan lahan pertanian untuk 5.000 petani milenial
Baca juga: Langkah Jabar ajak generasi "zaman now" menjadi "petani juara"

Dampak kecil
Hasil penelitian The Economist Inteligence Unit (EIU) mengenai sektor usaha yang terdampak krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19, sektor pertanian terbukti terkena dampak paling kecil dibandingkan sektor lain. Hal ini terjadi karena dampak dari pembatasan sosial relatif minimal pada sektor pertanian, walaupun masih ada risiko dari disrupsi rantai penawaran (supply chain) dan terpuruknya permintaan.

Akibat pandemi, EIU merevisi pertumbuhan sektor manufaktur sebesar 3 persen menjadi minus 1,5 persen, sektor jasa sebesar 7,2 persen menjadi 2,4 persen dan pertumbuhan sektor pertanian hanya direvisi dari 4,1 persen menjadi 3 2 persen (terkoreksi hanya 0,9 persen).

Selain itu, sejarah krisis di Indonesia, misalnya krisis moneter 1997-1998 juga menyisakan catatan relatif bertahannya sektor pertanian dan bahkan menampung kembali tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan di perkotaan.

Menurut data BPS, penjualan benih dan pot mengalami peningkatan sebesar 10 kali lipat dari 100 ribu unit di masa sebelum pandemi menjadi 1,1 juta unit selama pandemi. Nampaknya peran sektor pertanian sebagai sektor penyangga (buffer sector) di masa krisis terulang kembali pada resesi dunia dan pandemi COVID-19 seperti yang berlangsung saat ini.

Fakta-fakta itu membuat Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mencanangkan "Gerakan 5.000 Petani Milenial". Upaya itu harus segera terwujud mengingat 38 persen penduduk Indonesia berada di Jawa Barat atau sekitar 48 juta jiwa, sementara itu sebanyak 40 persen usia produktif belum memiliki pekerjaan yang jelas.

Menurut Kepala Biro Perekonomian Sekretariat Daerah Jawa Barat, Benny Bachtiar, menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah setempat untuk mengarahkan 40 persen usia produktif ini ke sektor pertanian. Pertimbangannya sebagian besar lahan di Jawa Barat merupakan tanah yang subur tetapi tidak produktif.

Gerakan ini mendapat dukungan dari pemerintah kota/ kabupaten di Jawa Barat. Sejauh ini dari hasil seleksi sudah meloloskan 2.240 orang untuk setelahnya disertakan dalam program ini. Targetnya sebelum tahun 2023 angka 5.000 petani sudah dapat tercapai.

Pemprov Jabar optimis gerakan 5.000 petani bakal sukses untuk memanfaatkan lahan tak produktif tadi. Apalagi di tengah pandemi seperti sekarang permintaan terhadap produk pertanian sangat tinggi. Dengan direkrutnya 2.240 orang untuk dilatih menjadi petani diharapkan menjadi daya tarik bagi bagi kalangan muda lainnya untuk terjun ke sektor ini.

Baca juga: Petani milenial garap Bulak Srikayangan jadi sentra bawang merah DIY
Baca juga: Dukung regenerasi, Kementan targetkan cetak 2,5 juta petani milenial


Orang tua
Sebagian besar generasi milenial yang terjun ke dunia pertanian karena meneruskan usaha orang tuanya. Selain karena terlatih sejak kecil untuk bercocok tanam ditambah dengan kemajuan internet saat ini membuat sebagian besar petani muda ini suskes mengembangkan usahanya.

Termasuk dalam hal ini Dede Koswara, seorang petani muda binaan Ewindo asal Desa Pasir Jambu, Ciwidey, Kabupaten Bandung, yang sukses karena belajar dari orang tuanya yang juga seorang petani.

Meskipun lulusan STM otomotif, tidak membuat Dede meninggalkan sektor pertanian. Hal itu karena orang tua selain sudah berusia lanjut, juga anak dari tiga bersaudara itu sejak awal memang sudah hobi bercocok tanam.

Usaha ini lantas ditekuni berawal dari lahannya yang hanya ratusan meter persegi, lantas berkembang sehingga saat ini sudah mencapai lima hektare. Kemudian, semula memasarkan hasil pertanian berupa sayuran, Dede harus menyopir sendiri kendaraan angkutannya, namun sekarang sudah ada pengepul yang siap untuk menampung hasil taninya. Dede bahkan sudah memperkerjakan lebih dari 30 pekerja saat ini.

Dede juga mengakui keberhasilan saat ini banyak terbantu dari teknologi internet. Dia mencontohkan untuk selalu mencari informasi mengenai pasar termasuk komoditas apa saja yang sedang panen dengan memanfaatkan media pertemanan Facebook.

Dia mencontohkan menampilkan produk tomat produksinya melalui media sosial. Lantas ada yang tertarik karena tampilannya yang bagus. Setelah dikirim kemudian merasa puas, order tomat pun akhirnya berlanjut sampai sekarang.
Petani tengah membawa kol untuk dipasarkan. (ANTARA/Ganet Dirgantoro)

Dede juga menjelaskan mengapa produknya bisa tembus sampai ke Jakarta. Awalnya dirinya berkenalan dengan sesama petani yang biasa memasok ke Ibu Kota.

Orang tersebut lantas meminta mengirimkan produk sayurannya ke Tangerang. Dia pun nekat mengirim barang yang diminta dengan berbekal pikiran positif bakal dibayar.

Ternyata orang itu tidak ingkar janji bahkan menjadi mitra hingga kini bahkan membuka pasar hingga ke Ibu Kota dan daerah-daerah sekitarnya.

Tak hanya itu, Bank BRI juga mulai melirik bisnis pertanian yang ditekuninya. Selain mendapat bantuan alat pascapanen untuk produk cabai dan paprika juga mendapat fasilitas kredit tanpa agunan untuk modal kerja.

Dede juga mengaku sempat kesulitan saat pandemi COVID-19. Awal kasus merebak di bulan Maret 2020 sebagian besar petani belum merasakan dampaknya, namun pada bulan Agustus 2020 saat penerapan PSBB mulai kesulitan. Hal ini karena di sektor pertanian produksi tetap berjalan namun pasar kesulitan untuk menampung.

Beruntung kesulitan ini tak berlangsung lama bahkan kondisinya berangsur-angsur mulai membaik. Pada awal 2021 ini hasil panen sayuran sudah banyak yang menampung dan mengirimkannya ke pasar modern dan tradisional.

Baca juga: Kementan: Petani milenial mulai terapkan internet of things
Baca juga: Kementan: Perlu regenerasi petani milenial untuk tingkatkan pangan


Memang di tengah pandemi semua sektor terkena dampak akibat adanya pembatasan-pembatasan. Beruntung perbankan juga memberikan keringanan terhadap kewajiban termasuk petani. Selain penjadwalan kembali, memberikan masa tenggang (grace period), hingga penangguhan bunga membuat petani dapat bernafas lega.

Kondisi demikian tentunya kembali memicu semangat Dede dan rekan-rekannya untuk melanjutkan bisnis pertanian.

Dede yang tampil sebagai pembicara dalam webinar bertajuk "Peluang Petani Millenial di Era Digital" diharap dapat memberi motivasi bagi generasi milenial untuk bertani. Apalagi dalam webinar itu juga disampaikan cara bertanam di lahan terbatas yang cocok dipraktikkan bagi petani pemula.

Termasuk juga pemanfaatan teknologi digital dalam sektor pertanian menjadi salah satu pendorong bagi milenial untuk tertarik ke sektor ini.

Memang tahap awal bagi yang pertama kali menekuni sektor ini membutuhkan banyak tantangan. Untuk produksi tidak masalah dengan adanya varietas unggul dan pemupukan. Namun yang kerap menjadi kendala saat ini adalah pemasaran.

Masih banyak petani tradisional yang belum terkoordinir dengan baik. Contohnya panen yang berbarengan dengan komoditi yang sama. Kondisi ini hanya akan membuat produk tidak laku, petani rugi, dan produk terancam rusak. Sedangkan pada sisi lain ada barang yang justru langka, namun tak bisa diantisipasi dengan baik oleh petani.

Informasi memegang peranan penting untuk menjadi petani sukses. Produk apa saja yang sedang dibutuhkan dan produk apa saja yang akan panen bisa menjadi pegangan bagi petani muda.

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2021