Menurut kata Prof Faisal, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Program Doktor Hukum Universitas Borobudur, pengembalian aset dari banyak kasus korupsi belum berjalan optimal karena beberapa koruptor masih dapat menyembunyikan asetnya dari pengawasan aparat penegak hukum.
"Saat ini pengembalian aset (khususnya dalam kasus tindak pidana korupsi) belum berjalan dengan baik, terbukti para koruptor setelah selesai menjalankan (hukuman) pidananya, masih banyak dari mereka yang tetap bergaya hidup mewah," terang Faisal Santiago saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Oleh karena itu, ia berpendapat Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana harus segera disahkan jadi Undang-Undang agar ada efek jera dari para koruptor dan masyarakat tidak tergoda untuk terlibat aksi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Baca juga: F-NasDem: RUU Perampasan Aset lebih bermanfaat daripada hukuman mati
Baca juga: Pemerintah didorong ajukan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ke DPR
Baca juga: ICW: RUU Perampasan Aset mudahkan penegak hukum berantas korupsi
"Jika ada UU Perampasan Aset, harapannya orang-orang akan takut melakukan korupsi," terang Faisal.
Terlepas dari tujuan itu, ia mengatakan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana wajib segera dibahas dan disahkan menjadi UU, karena saat ini masih ada kekosongan hukum dalam menindak para pelaku korupsi, utamanya terkait upaya mengembalikan aset-aset negara dan memiskinkan koruptor.
"Hukuman pidana penjara yang berat, ternyata tidak membawa dampak terhadap berkurangnya para pelaku tindak pidana korupsi. Perampasan aset atau langkah-langkah pemiskinan (terhadap koruptor) merupakan salah satu alternatif yang perlu didukung," sebut Prof Faisal menambahkan.
UU itu, jika nantinya sah dan berlaku, akan memberi keadilan dan manfaat bagi masyarakat, mengingat aset-aset negara yang berhasil dikembalikan dapat digunakan untuk membiayai program-program pembangunan.
Terkait itu, Faisal meminta DPR dan pemerintah untuk menyusun draf RUU Perampasan Aset Tindak Pidana secara jelas dan lengkap. Setidaknya, ada tiga ketentuan yang harus diatur secara tersurat, kata Faisal.
"Pertama, perampasan aset tindak pidana yang melalui putusan inkracht (berkekuatan hukum tetap, Red) ada yang In Rem atau negara mengambil alih aset berdasarkan perintah pengadilan. Kedua, terkait mekanisme pembuktian aset hasil atau yang masih diduga berkaitan dengan kejahatan. Di samping itu, juga soal kewenangan pelaksanaan perampasan," terang Faisal. Ia menambahkan ketentuan tentang tiga poin itu harus dibuat terang dan tidak multitafsir.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae saat rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR RI di Jakarta, Rabu (24/3) meminta dukungan kepada anggota dewan agar RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal dapat segera dibahas dan disahkan.
Menurut dia, pemerintah telah satu suara mendukung pengesahan dua RUU itu tahun ini.
Dian Ediana yakin dua RUU itu akan mengoptimalkan pengembalian uang negara dari tindak pidana korupsi, narkoba, perpajakan, kepabeanan, dan cukai.
Terkait permintaan itu, Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem DPR RI Willy Aditya di Jakarta, Kamis, mengatakan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana akan lebih bermanfaat untuk menghukum para pelaku korupsi daripada hukuman mati atau kurungan.
Ia menegaskan Fraksi Partai NasDem mendukung pengesahan RUU tersebut.
Walaupun demikian, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal tidak masuk dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021 yang telah ditetapkan oleh Sidang Paripurna DPR RI, Selasa (23/3).
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021