Menabrak kabut menembus Dataran tinggi Lore, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.aset luar biasa yang dimiliki Sulteng
Hawa dingin merangsak masuk hingga ke tulang. Kicauan burung bersahutan, menyambut datangnya pagi di kawasan yang dihuni ribuan jenis fora dan fauna endemik Sulawesi.
Memasuki kawasan ini, mata disapa dengan pemandangan alam yang menakjubkan. Hamparan sawah, areal perkebunan, serta sabana, atau padang rumput yang luasnya mencapai 218 hektare.
Berada di sisi tenggara dari jantung Pulau Sulawesi, terletak di garis Wallace yang merupakan wilayah peralihan antara zona Asia dan Australia, inilah salah satu daerah penyangga Taman Nasional (TN) Lore Lindu.
Dataran Lore, terdapat tiga Lembah, yakni Lembah Napu, Lembah Besoa dan Lembah Bada. Selain aneka ragam hayati, bukti peradaban prasejarah ada di kawasan ini.
Dinilai penting melindungi seluruh unsur alamnya, tahun 1977 Organisasi Pendidikan, Keilmuwan dan Kebudayaan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan Lore Lindu sebagai cagar biosfer.
Bertamu di dataran tinggi Lore, beserta belasan jurnalis lainnya untuk melihat bentang alam sekaligus peradaban prasejarah menjadi pengalaman yang tak terlupakan .
Jalan yang ditempuh mencapai sekitar 100 kilometer, sebagiannya beraspalkan batu kerikil, lumpur dan genangan air bekas hujan. Beberapa kendaraan milik kami pun sempat menanam bannya di lumpur.
Setelah enam jam perjalanan, tibalah di Lembah Besoa, Desa Hanggira, Kecamatan Lore Tengah. Di Desa ini terdapat peradaban prasejarah, dengan nama situs Pokekea.
Untuk ke situs ini, harus berjalan kaki sekitar kurang lebih enam ratus meter ke areal perbukitan.
Beberapa batu besar berbentuk bejana, lengkap dengan penutupnya, dihiasi relief, terhampar di areal perbukitan situs Pokekea, menyambut kedatangan kami.
"Memang Indonesia ini e," ungkap salah satu Jurnalis, Irwan K Basir, dengan nada kagum
Batu berbentuk bejana itu disebut masyarakat setempat dengan sebutan Kalamba, sementara tutupnya disebut Tuatena.
Selain Kalamba, situs megalitik Pokekea juga terdapat beberapa arca batu yang berbentuk wajah manusia dengan ukuran berbeda beda. Sejumlah peneliti memperkirakan ini dibuat sekitar tiga sampai empat ribu tahun sebelum masehi.
Kami pun tak berhenti mengabadikan peninggalan prasejarah itu melalui kamera profesional maupun gawai. Meskipun matahari terasa dekat dari ubun ubun.
Selama beberapa jam berada di situs Pokekea, kemudian kami bergeser ke situs lain, yaitu situs megalith Tadulako. Masih dalam kawasan Lembah Besoa, situs Tadulako berada di Desa Bariri, Kecamatan Lore Tengah.
Di situs megalith Tadulako, terdapat patung berukuran setinggi kurang lebih dua meter, dengan posisi menghadap ke barat. Menurut hasil penelitian, patung ini berjenis kelamin laki laki, dengan nama Tadulako.
Sekarang namanya dipakai pada Universitas Negeri yang ada di Kota Palu, Sulawesi Tengah, dengan nama Universitas Tadulako (Untad).
Beberapa Kalamba juga terdapat di situs megalitik Tadulako ini. Walaupun jumlahnya, tak sebanyak dan ukurannya tak sebesar di situs Pokekea.
Hari semakin gelap, karena kondisi jalanan yang tak memungkinkan dilewati pada malam hari, Kami memutuskan untuk menikmati dinginnya malam di Lembah Besoa dengan bertenda di sekitar lokasi situs megalith Tadulako.
Banyak cerita dibalik situs megalitik di Lembah Besoa, baik hasil penelitian para ahli arkeolog, maupun mitologi yang dipercayai masyarakat sekitar.
Baca juga: Jejak peradaban megalitik tertua di Lore-Lindu
Dua lokasi itu, merupakan bagian dari ratusan situs megalith di Kabupaten Poso, yang tersebar di tiga Lembah, yakni Lembah Bada, Besoa dan Lembah Napu.
Ramai penduduk
Tanwir Lamaming, arkeolog yang melakukan penelitian terhadap situs megalith di Sulawesi Tengah, sejak tahun 1991 menilai, dahulunya tiga lembah tersebut merupakan kawasan ramai penduduk.
Hal itu mengacu dari ditemukannya sejumlah fragmen gerabah hampir di semua situs.
"Fragmen gerabah ini sebenarnya mengarah ke intensitas hunian, itu menandakan bahwa Napu, Besoa, Bada, itu adalah pemukiman yang ramai. Tapi bukan seperti kerajaan, mereka itu cenderung terpisah pisah, berkelompok," tuturnya
Tanwir menilai, sejumlah artefak-artefak ini mengarah ke fungsi sakral, atau pemujaan yang dilakukan pada zaman dahulu.
Ia menjelaskan, patung itu kemungkinan besar seperti sebuah perwujudan nenek moyang atau apa, yang kemudian itu disembah. "Hampir semua situs, yang namanya patung itu arahnya ke pemujaan," jelasnya
Terlepas dari itu, Tanwir mengatakan, megalith merupakan aset luar biasa yang dimiliki Sulteng." Ini bisa jadi pemasukan, baik untuk masyarakat, maupun negara kita," katanya
Banyak yang harus dibenahi Pemerintah, baik itu Pemerintah Kabupaten, maupun Provinsi Sulteng.
Sementara itu, Iksam Djorimi, yang juga arkeolog Sulawesi Tengah mengatakan, pada tahun 2000 lalu, Tim Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) telah membuktikan bahwa fungsi batu berbentuk bejana atau disebut Kalamba, adalah sebagai wadah penguburan secara komunal.
Hal itu terkuak setelah tim Dikbud menemukan fragmen tulang dan tengkorak manusia, gigi manusia, serta fragmen gerabah di dalam Kalamba, yang diduga merupakan satu keluarga, di lokasi situs megalith Tadulako.
"Kelima manusia yang dikuburkan dalam Kalamba itu adalah satu keluarga, artinya penguburan komunal. Yang sekarang masih dilanjutkan di Tanah Toraja," jelasnya
Hasil yang tim Dikbud dapatkan, dan kemudian diteliti oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman atau Lembaga Eijkman, DNA dari satu keluarga menunjukkan ras Mongoloid.
"Mongoloid berarti kita semua seluruh yang ada di Indonesia, " jelas Iksam
Selain dilindungi hukum Pemerintah, situs megalith ini, juga lindungi hukum adat yang ditetapkan masyarakat sekitar."Masyarakat di sini sudah tau, kalau itu tidak boleh diapa-apakan, dipindahtempatkanpun tidak boleh, biar itu ada di halaman rumah warga," ujar Sandi Tolie, Ketua adat wilayah Lembah Besoa, Kecamatan Lore Tengah.
Sanksi adat akan dijatuhkan bagi mereka yang merusak, apalagi sampai mencuri bagian situs megalith. "Satu ekor hewan kalau pencurian. Selama ini belum ada didapat kasus pencurian, " terangnya
Upaya masyarakat adat menjaga situs telah dilakukan. Tapi, Sandi Tolie menyesalkan banyaknya pengunjung situs megalith tidak melapor ke lembaga adat sekitar. "Saya hanya biasa terima laporan dari warga kalau ada pengunjung, setelah ditanya kenapa tidak melapor dulu, mereka mengatakan sudah melapor di Kabupaten atau Provinsi. Jadi seakan akan kami ini tidak ada apa-apanya," tutur Sandi.
Masyarakat adat setempat juga berencana membuat sebuah tanda adat untuk setiap pengunjung yang datang. "Setiap pengunjung kita sediakan seperti Siga begitu, karena itu tanah wilayah adat kan, jadi adalah tandanya," jelasnya.
"Nanti setiap pengunjung meminjam itu, dia bayar, yah lima ribu rupiah atau berapa, yang penting jangan mahal," tambahnya.
Terlepas dari itu, rencana tersebut dinilainya dapat berpengaruh terhadap ekonomi masyarakat, serta adanya dana untuk pemeliharaan situs. "Ada manfaatnya, jadi pemasukan untuk masyarakat desa dan untuk pemeliharaan lokasi sekitar situs," terangnya
Baca juga: Meneguhkan tekad masyarakat adat lestarikan Cagar Biosfir Lore Lindu
Diusulkan jadi warisan dunia
Catatan sejarah, penelitian terhadap peninggalan arkeologi prasejarah di Sulawesi Tengah telah dilakukan oleh peneliti bangsa Eropa sejak abad ke-19.
Tulisan dengan judul "Van Poso Naar Parigi Een Lindoe", karya Adriani dan A.C. Kruyt yang terbit pada tahun 1898, menjadi buktinya. Kemudian tahun 1976, tim proyek penelitian dan peninggalan purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menjadi tim pertama di Indonesia yang meneliti situs ini. Dipimpin oleh seorang arkeolog bernama Haris Sukendar.
Situs megalitik di Sulteng umumnya terkosentrasi di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, yang mencakup dua Kabupaten, yakni Poso dan Sigi.
Hingga saat ini, sudah banyak yang melakukan penelitian di situs megalitik Lore Lindu. Sehingga, banyak data yang dianggap sangat penting untuk perkembangan sejarah Indonesia bahkan dunia.
Kemudian, situs megalitik Lore Lindu diusulkan menjadi warisan dunia. Tahun 2018, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melakukan deliniasi. Deliniasi merupakan pemetaan terhadap seluruh peninggalan megalitik yang tersebar di wilayah tersebut.
Iksam Djorimi, arkeolog, yang juga tim ahli cagar budaya Provinsi Sulawesi Tengah mengatakan, untuk persiapan sebagai warisan dunia, delinasi dilakukan, bukan hanya di dataran tinggi Lore, tapi juga di kawasan Lembah Kulawi, Danau Lindu, bahkan di Lembah Palu.
Lanjut Iksam, pada tahun 2019, UNESCO mengundang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mempresentasikan potensi warisan kebudayaan Lore Lindu, menjadi warisan dunia. Saat pertemuan itu dicapailah kesepekatan sehingga dilanjutkan dengan kegiatan bimtek untuk mempersiapkan diri sebagai syarat warisan dunia. "Itu diberi waktu sampai tahun 2029," terangnya.
Ada tiga nilai yang menjadi pegangan, menjadikan Lore Lindu menjadi warisan dunia.
Pertama, nilai akademis di mana wilayah Lore Lindu telah menjadi kajian dari berbagai cabang ilmu pengetahuan. Kedua, nilai strategis, dimana Lore Lindu telah membuktikan nenek moyang dari akar budaya yang sama. "Nilai strategisnya menjadi budaya pemersatu bangsa" jelas Iksam
Dan yang ketiga adalah nilai praktis, yang sudah pasti untuk kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Pada September 2019, surat dengan nomor 2734/EG-2/tu/2019 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk Gubernur Sulawesi Tengah memberikan rekomendasi kepada Pemprov Sulteng rekomendasi membentuk tim percepatan pendaftaran warisan budaya Lore Lindu menjadi warisan dunia dengan nama "Landscape Budaya". Melalui tim itulah akan mengajukan diri Lore Lindu menjadi warisan dunianya
Merujuk Dokumen Landscape Budaya Lore Lindu, di dataran tinggi lore terdapat 96 situs, dengan sebaran 35 situs berada di Lembah Bada, 32 situs di Lembah Besoa dan 29 situs di Lembah Napu.
Megalith Lore Lindu masih menanti dibenahi oleh tangan penentu kebijakan. Pengakuan sebagai warisan dunia dianggap penting demi memperkuat identitas megalith Lore Lindu di Indonesia, yang secara otomatis akan berimbas dengan ekonomi masyarakat sekitar.
Baca juga: Kawasan Taman Nasional Lore Lindu jadi momok masyarakat
Baca juga: Kearifan lokal Masyarakat Lembah Bada dan Cagar Biosfer Lore Lindu
Pewarta: Rangga Musabar
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021