Langkah ini, kata Alwi Mujahit di Medan, Sabtu, untuk menekan risiko penyebaran COVID-19 jika pembelajaran tatap muka dilaksanakan nantinya.
Baca juga: UGM berencana buka pembelajaran tatap muka terbatas pada Agustus
Baca juga: UGM berencana buka pembelajaran tatap muka terbatas pada Agustus
"Kalau kajian itu mengatakan boleh, ya enggak ada masalah. Kita serahkan itu kepada pakar-pakar kita. Masyarakat juga harus mau ikut, jangan maunya saja. Karena kalau dasarnya perasaan bukan fakta, bisa kacau kita," katanya.
Apabila nantinya belajar tatap muka harus dilakukan, dia mengusulkan agar pakar-pakar pendidikan kembali dikumpulkan untuk membahas perkembangan lebih lanjut.
"Jadi, jangan karena kemauan masyarakat saja, karena nggak bisa kita jadikan pegangan. Sebab, masyarakat ini kan pakai perasaan, bukan pakai fakta. Bisa saja karena sudah bingung melihat anaknya di rumah, beranggapan lebih bagus kalau sekolah tatap muka," jelasnya.
Apabila pembelajaran tatap muka dilakukan di Sumut, kata dia, tentunya masih akan ada beberapa daerah yang belum bisa melaksanakannya, seperti Kota Medan yang masih zona merah.
Baca juga: Kampus rencanakan pelaksanaan pembelajaran tatap muka bertahap
Baca juga: Mensos : Orang tua perlu kontrol prokes anak jelang tatap muka
Baca juga: Kampus rencanakan pelaksanaan pembelajaran tatap muka bertahap
Baca juga: Mensos : Orang tua perlu kontrol prokes anak jelang tatap muka
Sebab, lanjut dia, pemetaan zonasi risiko memang harus menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam pelaksanaan sekolah tatap muka. Bagi daerah zona hijau sekali pun tetap harus dikaji lebih jauh.
"Jangankan anak kecil, orang dewasa saja belum tentu bisa kita atur menjalankan protokol kesehatan, apalagi anak-anak disuruh jaga jarak malah akan bertengkar atau lari-lari dengan teman-temannya," katanya.
Pewarta: Nur Aprilliana Br. Sitorus
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021