Lucky saat dihubungi Antara di Jakarta, Minggu, mengatakan kondisi pandemi COVID-19 turut mempengaruhi hal tersebut, di mana kebanyakan pekerjaan harus dilakukan secara daring.
"Segmen low-end ini menjadi persaingan yang ketat dari banyak vendor, didorong oleh kondisi pandemi, di mana kebanyakan pekerjaan harus dilakukan daring atau 'work from home' dan juga pembelajaran sekolah atau pembelajaran jarak jauh (PJJ)," kata Lucky.
Menurut dia, kondisi tersebut mendorong penjualan ponsel pintar di segmen low-end terdongkrak naik. Dia menilai para vendor ponsel pintar masih akan terus berlomba menghadirkan tipe-tipe ponsel pintar menarik di segmen ini.
"Karena pengguna ponsel pintar di segmen ini paling banyak, maka segmen ini juga dikejar para vendor untuk meningkatkan pangsa pasar brand, karena urutan teratas pangsa pasar ini masih diperebutkan untuk menjadi prestise kepercayaan bagi calon pembeli juga sebagai langkah marketing yang menarik," kata Lucky.
Lucky memperkirakan persaingan di segmen low-end akan terus menarik hingga kuartal-kuartal mendatang, terlebih kondisi pandemi COVID-19 masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.
Berdasarkan laporan terbaru firma riset IDC, ponsel pintar di kategori low-end atau yang dipasarkan dengan rentang harga Rp1,5 juta hingga Rp3 juta mengalami kenaikan di tahun 2020.
Porsi pasar ponsel pintar low-end kini mencapai 65 persen, naik dari 45 persen pada tahun 2019 lalu.
Lima besar merek, yaitu Vivo, Oppo, Xiaomi, Realme, dan Samsung secara berurutan mendominasi segmen low-end dengan pangsa lebih dari 90 persen.
Baca juga: Registrasi IMEI kurangi peredaran ponsel ilegal
Baca juga: Penjualan smartphone global diprediksi tumbuh 11 persen
Ponsel lokal
Dari data tersebut diketahui bahwa vendor ponsel pintar asal China dan Korea Selatan masih merajai pasar di segmen low-end. Padahal, di segmen ini vendor-vendor lokal semacam Evercoss atau Advan juga turut bermain. Namun nampaknya mereka mulai tertinggal.
Lucky mengatakan beberapa tahun lalu vendor ponsel pintar lokal masih mendapat tempat, terutama di daerah atau kota-kota kecil.
Namun, seiring masifnya e-commerce dan agresifnya raksasa ponsel pintar China menggempur pasar dalam negeri hingga ke pelosok daerah, vendor lokal kian tersisih.
"Pangsa pasar merek lokal sekarang semakin kecil, padahal dulu masih bisa masuk lima besar. Tanpa ada perubahan pola atau cara, merek lokal sepertinya tidak akan berkembang dan akhirnya habis karena kalah bersaing," kata Lucky.
Dia menambahkan bahwa dukungan dari pemerintah atau pemangku kebijakan terkait nampaknya bisa menjadi salah satu solusi untuk mendongkrak penjualan ponsel pintar besutan lokal, misalnya dengan kampanye mencintai produk dalam negeri.
"Mungkin brand lokal sendiri yang harus pro aktif melobi pemerintah untuk melihat sudah waktunya untuk bisa turut andil dalam segmen ini," kata dia.
Baca juga: Penjualan online ponsel di Asia Tenggara meningkat
Baca juga: Bidik gamers, Sharp Indonesia incar kenaikan triple penjualan ponsel
Baca juga: Samsung dan Huawei pimpin pasar ponsel 5G
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021