"Pengendalian mikotoksin pada jagung sangat sulit, tidak mudah, tetapi kalau tidak dikendalikan akibatnya buruk sekali, baik pada tanaman, hewan dan manusia sebagai pengguna akhir," ujarnya di Jakarta, Jumat.
Pengendalian mikotoksin pada jagung, lanjutnya, harus dilakukan mulai dari proses budidaya atau penanaman, saat panen serta pascapanen hingga distribusi dengan menerapkan praktek budidaya yang baik (GAP) dan praktek pengolahan yang baik (GMP).
Baca juga: Mentan lepas ekspor 4.000 ton olahan jagung dan gandum asal Banten
Menurut dia, Amerika Serikat saat ini merupakan negara yang berhasil menanggulangi kandungan mikotoksin yang berbahaya pada jagung sehingga negara tersebut menjadi produsen serta eksportir jagung terbesar di dunia.
"Semoga Indonesia bisa mengendalikan mikotoktsin pada jagung, karena hal itu sangat strategis untuk pengembangan poultry dan ternak dalam negeri. Ada potensi untuk ekspor ternak dan jagung kalau bisa kendalikan mikotoksin," katanya.
Sementara itu pakar nutrisi pakan Prof. Dr. Ir Budi Tangendjaja menyatakan, mikotoksin, di antaranya berupa aflatoksin merupakan senyawa sekunder pada jagung yang dihasilkan jamur dan beracun bagi ternak.
Jagung paling tinggi kandungan aflatoksin, lanjutnya, risiko kalau ada mikotoksin, aflatoksin terhadap semua jenis ternak yakni akan merusak hati, kekebalan tubuh ternak turun hingga merusak organ lain, tak hanya itu. Risiko tersebut juga bisa menimpa manusia sebagai pemanfaat akhir.
"Ini harus diperhatikan agar mikotoksin bisa dikendalikan karena akan ke ayam, ternak dan manusia sebagai pengguna. Kalau jamur bisa dicegah mikotoksin bisa dicegah," katanya pada Webinar bertema Pentingnya Pengedalian Mikotoksin Pada Jagung Pakan yang digelar Tabloid Agrina.
Baca juga: Menteri PPN/Bappenas lepas ekspor jagung Gorontalo ke Filipina
Budi menyatakan, mikotoksin, bisa tumbuh di lapangan saat jagung ditanaman tercemar jamur, saat panen jamur berhenti namun saat di simpan di gudang bisa tumbuh lagi jamurnya sehingga kandungan, mikotoksin akan tinggi lagi.
Upaya pengendalian mikotoksin menurut dia harus menyeluruh mulai dari proses penanaman yakni menggunakan bibit yang tahan jamur serta perawatan lahan dengan menjaga kebersihannya, terutama dari munculnya jamur.
Sedangkan pada saat proses pemanenan pengeringan harus secepatnya dilakukan, setelah dipipil dalam tiga hari harus kering karena rata-rata jamur akan tumbuh dalam waktu tiga hari setelah disimpan. Jika sangat diperlukan, tambahnya, bisa memanfaatkan bahan kimia penghambat jamur.
"Kadar air pada jagung di Indonesia 16-18 persen beresiko menghasilkan mikotoksin, ini harus dikendalikan," ujarnya.
Budi menyatakan, untuk membantu petani mengendalikan mikotoksin pada jagung maka pemerintah bisa menyalurkan benih bermutu yang tahan jamur serta mengembangkan mesin-mesin pengering bagi petani.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah perlu merevisi standar kualitas jagung di Indonesia yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) karena hanya menetapkan satu standar berbeda dengan AS yang mencantumkan lima jenis.
Pewarta: Subagyo
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021