Pendidikan dan deradikalisasi

5 April 2021 13:57 WIB
Pendidikan dan deradikalisasi
Personel Densus 88 Anti Teror menggiring terduga teroris ke Pesawat di Bandara Internasional Juanda, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (18/3/2021). (ANTARA/Umarul Faruq)
Belum lama masyarakat Indonesia dikejutkan oleh aksi pemboman bunuh diri di depan gereja Katedral Makasar pada Minggu (28/03), yang menewaskan 2 korban pelaku dan 50 yang terluka.

Tiba-tiba kejutan datang lagi dengan peristiwa penembakan seorang wanita muda yang datang ke mabes polri sendirian, sambil menodongkan pistol, dan akibatnya wanita itu tewas ditembak timah panas anggota polisi Rabu (31/03).

Para pelaku yang diduga adalah teroris ini diduga mempunyai hubungan dengan jaringan teroris lain, juga bisa berdiri sendiri.

Dalam dunia filsafat, untuk membahas sesuatu, harus disepakati dulu definisi dari sesuatu atau peristiwa tersebut. Definisi berasal dari bahasa latin de dan finire (membatasi, selesai, sampai pada suatu).

Sejak jaman Aristoteles memperkenalkan definisi dengan cara menggunakan genus (proximum) yang bersifat umum dan differantia yang bersifat membatasi, definisi menjadi sangat perlu untuk menyediakan penjelasan-penjelasan cara pemakaian istilah-istilah kunci, baik dalam logika formal maupun informa (Lorens Bagus, 2000).

Definisi terorisme

Ada lebih dari seratus definisi terorisme yang diberikan para ahli atau lembaga sesuai dengan cara pandang dan situasi kondisi ketika definisi tersebut dibuat, sehingga untuk mendapatkan definisi terorisme secara baku agak sulit kita temukan.

Dalam dunia prajurit kekaisaran Romawi dulu, ada sebuah frasa cimbricus terror yang berarti untuk menakut-nakuti, yang menggambarkan kepanikan prajurit Romawi ketika prajurit lawan beraksi dengan hebat dan keras.

Baca juga: Azis Syamsuddin: Aksi terorisme karena salah maknai keberagaman

Dalam revolusi Perancis, kata terror menjadi le terreur atau terrere yang berarti kekerasan yang sangat brutal terhadap masyarakat sipil yang dilakukan oleh pemerintah, karena mereka melawan/anti pemerintah.

Menurut Legal Dictionary; Terorisme adalah penggunaan kekerasan atau kekerasan yang melanggar hukum terhadap orang atau properti untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau penduduk sipil demi tujuan politik atau sosial.

Definisi terorisme ini hampir sama dengan definisinya Black’s Law Dictionary, dimana ada tiga hal tentang terorisme yaitu; pertama adanya intimidasi dan kekerasan kepada masyarakat sipil. Kedua adanya kegiatan yang mempengaruhi kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dan yang ketiga adalah mempengaruhi jalannya pelaksanaan dan penyelenggaraan bidang-bidang dalam pemerintahan dengan cara penculikan dan pembunuhan.

Webster membuat definisi terorisme sebagai tindakan meneror, menggunakan kekerasan atau ancaman untuk mendemoralisasi, mengintimidasi, dan menaklukkan yang digunakan sebagai senjata atau kebijakan politik.

Sedang Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa terorisme sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik).

Secara sederhana terorisme bisa diartikan sebagai kegiatan yang membuat resah masyarakat sipil dan negara, dilakukan dengan kekerasan dan ancaman, dengan target acak, bisa dilakukan oleh siapa saja, oleh kelompok manapun, dan oleh penganut agama dan kepercayaan apapun dengan tujuan untuk memaksakan kehendaknya.

Hoffman mengidentifikasikan enam motivasi terorisme yang berkembang sampai dengan sekarang, yaitu:

1. Separatis sebagai motivasi kelompok separatis dan gerakan otonomi daerah dengan etnik sebagai kekuatan dasarnya.

2. Religius sebagai motivasi kelompok ekstrim fundamental.

3. Ideologi sebagai motivasi kelompol politik sayap kanan dan sayap kiri di suatu pemerintahan, seperti imigran dsb

4. Isu-isu utama (single issue) sebagai motivasi kelompok pemerhati lingkungan maupun makhluk hidup dengan aktivitas sabotase dan ancaman semata terhadap objek-objek vital.

5. Sponsor suatu negara sebagai motivasi kelompok yang tertekan oleh sebuah rezim pemerintahan dengan cara sabotase dan penyerangan menggunakan kekerasan.

6. Keterbelakangan mental bagi penderita sakit jiwa yang tidak memiliki akal yang sehat sehingga dapat melakukan kekerasan dengan alasan yang tidak jelas. (Petrus Reinhard Golose, 2014).

Ada tiga paket dalam terorisme yang saling bergantungan, terorisme itu sendiri, radikalisme dan propaganda.

Radikalisme berasal dari bahasa Latin radix yang berarti akar. Maksudnya yakni berpikir secara mendalam terhadap sesuatu sampai ke akar-akarnya. Di dalam Cambridge Advanced Learners Dictionary, radikal adalah kepercayaan atau mengekspresikan keyakinan bahwa harus ada perubahan sosial atau politik yang besar atau secara ekstrim (2008).

Artinya radikalisme menginginkan adanya suatu perubahan total secara cepat yang harus dipakai sebagai acuannya adalah ideologinya mereka, sebagai pemikiran yang paling benar menurut mereka.

Kekerasan yang dilakukan dalam terorisme maupun radikalisme intinya hanya merupakan refleksi/respon terhadap rusaknya tatanan sosio-politik dimana kemiskinan, kesenjangan sosial, penegakan hukum dipertontonkan secara vulgar dalam masyarakat.

Propaganda secara etimologis, berasal dari bahasa Latin ‘propagare‘ yang diambil dari kalimat Congregatio de Propaganda Fide (Congregation for Propagating the Faith), yaitu sebuah badan administrasi gereja Katolik yang dibentuk oleh Paus Gregory XV. Kata propaganda yang awalnya untuk kegiatan misionaris, kemudian berkembang menjadi mengatur maju, memperpanjang, menyebar, dan/atau meningkatkan.

Baca juga: Perkuat ketahanan keluarga cegah radikalisme-terorisme oleh perempuan

Kamus Besar Bahasa Indonesia, propaganda dapat berarti suatu penerangan (paham, pendapat, dan sebagainya) yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu.

Karena propaganda tidak mempermasalahkan benar atau tidak yang dipropagandakan, maka propaganda bisa sangat menyesatkan dan mempengaruhi kejiwaan penerima informasi tersebut.

Deradikalisasi 

Saya pribadi setuju dengan pendapat WS Rendra yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia itu terlalu kuat dan besar untuk hancur hanya karena perbedaan suku, agama, ras dan budaya. Perbedaan itu saling melengkapi, sebagai warna yang sangat khas dan indah bangsa ini.

Sebelum ada Hindu dan Budha datang, masyarakat Indonesia sudah mempunyai bahasa, tulisan, adat dan kepercayaan di daerahnya masing-masing. Ketika Hindu dan Budha datang dengan membawa sistem keagamaan, pemerintahan, tulisan dan bahasa, semua berjalan dengan baik. Dimana-mana mereka menggunakan bahasa sansekerta dan hurup pallawa, tapi bahasa dan tulisan-tulisan daerah tetap hidup dan berkembang.

Islam datang membawa sistem kepercayaan, budaya bahasa dan tulisan yang baru, juga tidak ada masalah. Masyarakat Indonesia menerima agama Islam dengan damai, tulisan Arab Jawa menjadi tulisan utama serta bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya yang menyebar ke seluruh Nusantara. Bahasa dan tulisan daerah tidak hilang, bahasa sansekerta dan pallawa juga tetap hidup.

Eropa datang dengan membawa agama Kristen dan tulisan latin. Animisme, Hindu, Budha, Islam tetap ada. Bahasa, tulisan dan adat istiadat daerah masing-masing, sansekerta, Arab Melayu masih eksis sampai sekarang. Itu artinya keragaman budaya bersifat konstruktif.

Sebaliknya, negara ini hanya akan hancur apabila, pemimpinnya sudah tidak amanah, penegakan hukum yang tidak berperikemanusiaan dan berperikeadilan, kesenjangan sosial semakin menjadi-jadi, dan kemiskinan semakin merajalela.

Setiap orang yang normal pasti ada niatan untuk merubah situasi yang tidak ideal seperti di atas tadi. Dalam situasi kebingungan untuk merubah itu, lalu datanglah informasi propaganda baik dari teman, dari internet dan lain sebagainya yang menawarkan ideologi alternatif yang dipercaya bisa mensejahterakan umat manusia. Bila diterima maka mulailah terjadi radikalisasi pemikiran dan tindakan dalam bentuk teror.

Lagi-lagi kita melihat pentingnya pendidikan dalam menangkal paham teror dan radikal. Pendidikan harus dipahami sebagai sebuah proses panjang yang dilakukan secara sadar, terarah, terukur dan dilakukan secara bersama-sama oleh semua elemen bangsa.

Kurikulum 2013 sebenarnya sudah memuat program deradikalisasi dengan memuat pengembangan sikap nilai kejujuran, persamaan hukum, menyenangi proses, penghormatan kepada manusia dan kemanusiaan serta alam sekitar, berbagi kepada sesama, berdiskusi dan sebagainya pada setiap materi pelajaran yang diberikan guru.

Di sekolah pengembangan sikap demikian tinggal dikembangkan, serta didukung oleh keluarga, masyarakat dan negara. Pendidikan tidak bisa berjalan sendiri tanpa dukungan penuh dari keluarga, masyarakat dan negara.

Baca juga: Pengamat: Masyarakat harus peka lingkungan cegah terorisme

Para peserta didik tidak butuh banyak ceramah tentang deradikalisasi, tapi mereka butuh contoh dari orang-orang di sekitarnya, yang nilai kejujuran, persamaan hukum, penghormatan kepada manusia dan kemanusiaan bisa dilihat dan dirasakan dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Tentunya untuk bersinergi dengan kementerian, lembaga dan organisasi masa lain, dalam pendidikan deradikalisasi tidaklah mudah. Salah satunya seperti yang disampaikan oleh TB Hasanuddin, anggota Komisi I DPR yang mengatakan tidak terarahnya metode dan teknik deradikalisasi yang tersebar di kementerian, lembaga, organisasi kemasyarakatan merupakan salah satu penyebab kegagalan program deradikalisasi.

Barangkali sebagai usulan BPIP bisa merangkul semua departemen, lembaga, organisasi keagamaan dan kemasyarakatan untuk duduk bersama membahas masalah deradikalisasi; mengkoordinasi, mendampingi, mengawasi dan mengevaluasi program deradikalisasi pada kementerian, lembaga, organisasi agama dan kemasyarakatan.

*) Nanang Sumanang, Guru Sekolah Indonesia Davao-Filipina

Pewarta: Nanang Sumanang
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021