Mulai bertemu teman dengan menjaga jarak

9 April 2021 15:32 WIB
Mulai bertemu teman dengan menjaga jarak
Pelajar kelas VI SDN Manggarai 03 mengikuti uji coba sekolah tatap muka di Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (9/4/2021). ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna.

kalau siswa pergi ke sekolah, secara fisik dia akan bergerak

Tanpa terasa, tahun ajaran baru 2021-2022 sudah dekat, para guru dan orang tua murid sangat berharap agar anak-anak mereka bisa belajar tatap muka segera dibuka, tak lagi sekedar uji coba.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta pada Rabu (7/4) sudah melaksanakan uji coba pembelajaran tatap muka (PTM) di 85 sekolah tingkat SD-SMA/SMK. Mereka melakukan PTM selama 3-4 jam yang berlangsung sampai tanggal 29 April 2021.

PTM sendiri merupakan tindak lanjut dari keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) empat Menteri. SKB yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri itu mengatur soal PTM secara terbatas dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.

Siswa dan orang tua menyambut gembira kebijakan Pemprov DKI Jakarta untuk melaksanakan uji coba belajar tatap muka. Meski di kalangan siswa merasa agak canggung dengan pemberlakuan protokol kesehatan (prokes) yang ketat.

Hal ini dapat dimengerti siswa yang hadir, karena di sekolah kapasitasnya dibatasi sampai dengan 50 persen. Karenanya setiap bangku yang tersedia hanya boleh di isi satu orang siswa. Tak hanya itu, selama jam belajar, siswa tak diperkenankan berbicara satu dengan lainnya.

Setelah sekolah usai, siswa diharuskan langsung pulang ke rumah. Bahkan beberapa sekolah meminta orang tua siswa untuk menjemput putra-putrinya untuk memastikan setelah jam belajar langsung kembali ke rumah.

Menanggapi hal tersebut, pengamat vaksinasi dari Universitas Indonesia, Prof Tjandra Yoga Aditama memahami pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat. Acuannya dapat dilihat dengan terbitnya SKB tiga menteri.

Baca juga: Kemendikbud: Sekolah harus miliki gugus tugas sebelum PTM terbatas

Menurutnya, pemerintah sudah memandang perlu PTM, namun harus dilakukan dengan protokol kesehatan yang sangat ketat, seperti menjaga jarak, menggunakan masker dan dilengkapi fasilitas cuci tangan dengan air mengalir.

Selain itu, keluarnya SKB itu bukan berarti pada tahun ajaran nanti PTM bakal semakin dibuka. Kegiatan PTM harus menyesuaikan dengan kondisi pandemi ke depannya, kata Tjandra.

Masih ada waktu beberapa bulan. Apabila ketika PTM berjalan dan kasus COVID-19 bertambah, maka kebijakan bisa berubah lagi. Sangat dimungkinkan karena kebijakan rem darurat juga sudah ada untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
 
Uji coba pembelajaran tatap muka (PTM) di sekolah dasar (SD) negeri Pulau Tidung 01 Pagi, Kelurahan Pulau Tidung, Kepulauan Seribu Selatan pada Jumat (9/4/2021). (ANTARA/ HO-Humas Kepulauan Seribu)

Tjandra mengatakan meskipun PTM sudah dilaksanakan akan tetapi kewaspadaan terhadap perkembangan wabah COVID-19 tidak boleh kendor. Hal ini berdasarkan data laju perkembangan kasus COVID-19 belakangan ini.

Sewaktu menjadi Direktur Organisasi Kesehatan Dunia Wilayah Asia Tenggara (WHO-SEARO), Tjandra mengaku pernah merasakan perkembangan kasus COVID-19 di India dan ketika dia berkantor di New Delhi, India serta melihat sendiri perkembangan kasus COVID-19 bisa berubah-ubah secara drastis.

India, jelas Tjandra, pernah mengalami kasus harian bertambah hanya 10.000 kasus. Namun beberapa hari kemudian naik 100.000 kasus. Kondisi demikian membuat perkembangan kasus COVID-19 di negara tersebut sulit untuk diprediksi.

Tak perlu khawatir
Tjandra yang juga Dekan Fakultas Pascasarjana Universitas YARSI, Jakarta itu mengatakan para orang tua murid tak perlu khawatir meskipun anak-anak mereka belum divaksin.

Vaksinasi COVID-19 masih dalam taraf uji klinis, sehingga belum bisa diberikan pada tahun ajaran baru nanti. Orang tua tak perlu cemas, kasus penularan COVID-19 pada anak-anak, seperti murid Pendidikan Anak Usia Dini relatif sedikit dibandingkan pada orang dewasa lansia.

Baca juga: Riza: DKI Jakarta masih harus yakinkan orang tua siswa agar setuju PTM

Tak hanya itu, guru-guru baru diperkenankan mengajar apabila sudah divaksinasi. Lagi pula, orang tua sesuai peraturan memiliki kewenangan untuk membolehkan anaknya ikut PTM atau tetap pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Tjandra berharap vaksinasi COVID-19 harus tetap berjalan, sambil pemerintah mencari solusi terhadap sejumlah negara produsen vaksin melakukan embargo atau ketidakmampuan pabrik vaksin memenuhi komitmennya.

Menurut Tjandra, pemerintah perlu melakukan negosiasi ulang dengan produsen vaksin. Pemerintah juga diminta tetap memprioritaskan vaksinasi kepada lansia yang rentan terpapar COVID-19.

Selain itu, meningkatkan diplomasi, baik dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), membeli langsung, atau melalui hubungan bilateral. Kemudian, pemerintah perlu menjajaki pembicaraan seperti dengan produsen vaksin lain di luar dari produsen atau instansi yang telah membuat komitmen dengan pemerintah, misalnya dengan Johnson & Johnson.

Sejauh ini komitmen yang sudah didapat pemerintah, antara lain berasal dari Pfizer, AstraZeneca, Novavax, Moderna, Sinopharm dan Sinovac.

Pentingnya juga menjaga kelancaran vaksinasi beralasan. Karena menurut data dari laman covid19.go.id, per 7 April 2021, jumlah orang yang sudah divaksinasi COVID-19 suntikan pertama adalah 8.975.366 orang, sedangkan yang sudah mendapat suntikan kedua sebanyak 4.378.351 orang.

Jumlah tersebut masih jauh dari sasaran vaksinasi 181,5 juta.

Baca juga: Riza minta siswa diberi pemahaman agar tak nongkrong setelah sekolah

Tetap terkendali
Warga Jakarta berharap wabah COVID-19 tetap terkendali meskipun telah dimulainya uji coba PTM di beberapa sekolah serta akan berlanjut ke sekolah-sekolah berikutnya.

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memastikan uji coba PTM ini berlangsung aman. Pemantauan melalui sinergi dengan Dinas Kesehatan terus dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan. Bahkan prosedur operasional standar (SOP) sudah ada untuk menghentikan kegiatan PTM apabila muncul kasus positif.

Terkait hal itu, pengamat pendidikan Arief Rahman memberikan dukungan terhadap pemerintah yang telah memberi kesempatan bagi sekolah-sekolah untuk melaksanakan PTM.

Kegiatan PTM, menurut Arief akan berlangsung aman ke depannya mengingat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tetap melakukan kendali. Kemenkes yang akan menetapkan berapa jumlah muridnya, kemudian juga waktu pembelajarannya.

Dengan demikian semua sudah tersedia panduannya. Lantas kebijakan untuk memberikan lampu hijau menyelenggarakan PTM juga sangat bergantung kepada zona di daerah itu. Jadi, bukan jenjang pendidikannya. Artinya meskipun SD, SMP, atau SMA kalau berlokasi di zona merah maka tidak bakal diizinkan untuk buka.

Menurut Arief, kegiatan PTM itu perlu dilaksanakan di tengah pandemi karena menurut Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO ini, ada dua alasan.

Pertama, kalau siswa pergi ke sekolah, secara fisik dia akan bergerak. Akan ketemu dengan teman-temannya dia senang. Kedua, siswa bisa bertanya langsung, kalau ada materi yang tidak dipahami kepada gurunya.

Baca juga: Melongok uji coba sekolah tatap muka di Ibu Kota

PTM memang diharapkan melibatkan banyak siswa, sebab pembelajaran jarak jauh selama ini menimbulkan keterlambatan pemahaman bagi siswa.

Tidak semua siswa dapat menangkap penjelasan dari guru. Siswa dari SD sulit fokus dan berkonsentrasi menyimak materi pelajaran yang diberikan. Kecuali itu, banyak siswa yang menyelesaikan tugas dari guru tepat waktu.
 
Seorang Guru mengukur suhu tubuh murid pada hari pertama uji coba pembelajaran tatap muka di SD Negeri Kenari 08 Pagi, Jakarta, Rabu (7/4/2021). Pemprov DKI Jakarta melakukan uji coba pembelajaran tatap muka terbatas di 85 sekolah dari jenjang SD hingga SMA mulai 7 April hingga 29 April 2021 dengan kapasitas dalam ruangan maksimum 50 persen dan penerapan protokol kesehatan yang ketat. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/hp.

Vaksinasi
Kegiatan vaksinasi terutama bagi tenaga pengajar dan dosen menjadi salah satu persyaratan keberlangsungan PTM secara aman. Saat ini masih banyak yang menanyakan apakah pemberian vaksinasi di bulan puasa yang jatuh pada Selasa (13/4) dimungkinkan.

Pada waktu itu, semua orang yang beragama Islam yang sehat dan mampu diwajibkan untuk berpuasa selama sebulan dari Imsyak hingga Magrib.

Hal itu karena pada saat puasa, ada pendapat bahwa salah satu yang membatalkan puasa adalah keluarnya darah dari dalam tubuh. Lagi pula puasa membuat stamina tubuh lemah dan rentan kena infeksi. Ini yang membuat masih ada saja orang-orang yang enggan melaksanakan vaksinasi dengan alasan semacam itu.

Mengenai hal tersebut, Prof Ari Fahrial Syam, Dekan FKUI mengatakan vaksinasi pada saat berpuasa tidak membuat tubuh rentan terkena kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI).

Vaksinasi bisa dilakukan pada malam hari atau pada pagi hari. Bahkan kalau perlu petugas pemberi vaksin ditempatkan di tempat-tempat ibadah seperti masjid.

Baca juga: SDN Manggarai 03 ditutup jika ditemukan siswa positif COVID-19

Langkah serupa juga pernah dilaksanakan Palang Merah Indonesia (PMI) untuk mendapatkan donor darah, kata Ari.

Sedangkan soal membatalkan, Ari menjelaskan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa yang menegaskan bahwa vaksinasi di siang hari tidak membatalkan puasa.

MUI mengeluarkan fatwa Nomor 21 Tahun 2021 yang menjelaskan vaksinasi injeksi tidak membatalkan puasa. Vaksinasi merupakan upaya mewujudkan 'herd immunity'.

Dengan demikian, kombinasi prokes dan vaksinasi menjadi langkah yang tepat agar PTM dapat berlangsung dengan aman dan siswa nyaman untuk mengikuti pembelajaran hingga rampung.

Bahkan bisa saja kegiatan belajar mengajar, jika situasi dan kondisi memungkinan, kembali dilaksanakan secara normal.

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2021