Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ke-12 Purnomo Yusgiantoro mengatakan penggunaan energi nuklir masih mendapatkan penolakan dari masyarakat sehingga potensi ini belum bisa dikembangkan di Indonesia.PLTN harus kita kuasai karena next future energy
"Masyarakat punya prinsip Nimby not in my back yard. Mereka bilang setuju nuklir, tapi kalau ditanya bangun instalasi nuklir di halaman rumah mereka, mereka menolak," kata Purnomo Yusgiantoro dalam diskusi daring Energy & Mining Editor Society yang dipantau di Jakarta, Senin.
Sudut pandang Nimbyisme merupakan karakteristik penolakan masyarakat terhadap usulan pembangunan di daerah mereka. Prinsip ini hanya menentang pembangunan karena dekat dengan mereka dan akan mentolerir atau mendukung jika pembangunan itu berada jauh dari mereka.
Purnomo menceritakan pengalamannya saat berencana membangun PLTN di Gunung Muria, Jawa Tengah, sekitar tahun 2000-an di mana saat itu keputusan membangun PLTN secara bertahap berkapasitas 4.000 MegaWatt (MW) untuk memenuhi kebutuhan listrik.
"Saat itu tim kami ditolak untuk persiapan pembangunan pembangkitan, akhirnya kami kembali, bahas lagi, lalu dibawa sampai ke sidang kabinet," kata Purnomo.
Baca juga: Komisi VII DPR dorong pengembangan nuklir untuk energi alternatif
"Di sidang kabinet diputuskan tidak bangun lagi di Gunung Muria. Listrik cari di tempat lain," tambahnya.
Bila pemerintah ingin mengembangkan energi nuklir dalam komposisi bauran energi nasional, lanjut dia, opsi ini harus memperhatikan dampak lingkungan dan penerimaan publik.
Sementara itu Rektor Institusi Teknologi PLN Iwa Garniwa mengatakan Indonesia sudah seharusnya menguasai PLTN karena nuklir adalah energi masa depan.
Meski demikian, PLTN bukan untuk mengganti energi tapi hanya sebagai bauran untuk membantu solusi kebutuhan energi di dalam negeri.
Baca juga: Anggota DPR optimistis Indonesia mampu "go nuclear"
"PLTN harus kita kuasai karena next future energy. PLTN bukan untuk menggantikan energi tapi menjadi mix energy yang membantu solusi kebutuhan energi," kata Iwa Garniwa.
Diketahui, program pengembangan energi nuklir di Indonesia bagaikan roller coaster. Perbincangan awal untuk menjadikan nuklir sebagai pembangkit listrik dimulai tahun 1978, ada banyak kajian ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan nasional kala itu.
Namun, kecelakaan Chernobyl di Rusia yang terjadi pada 26 April 1986 lantas menurunkan semangat pengembangan energi nuklir nasional.
Rentang 1991-1996, muncul perbincangan serius untuk menggarap listrik nuklir yang dimulai dari studi kelayakan di Semenanjung Muria, Jawa Tengah. Bahkan saat itu pemerintahan Orde Baru mendukung dengan menghadirkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran.
Baca juga: Purnomo Yusgiantoro: DEN bisa jadi inisiator pembahasan kebijakan PLTN
Krisis ekonomi tahun 1998 pun membuat rencana pengembangan energi nuklir tertunda dan cenderung vakum selama lebih dari satu dekade.
Pada 2011-2013, muncul studi kelayakan terkait potensi pengembangan energi nuklir di Bangka Belitung. Sejalan dengan itu terjadi kecelakaan di Fukushima, Jepang, pada 2011, akibat bencana tsunami yang membuat minat pengembangan energi nuklir di Indonesia kembali melemah.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kemudian mengusulkan pembangunan PLTN mini non-komersial pada rentang tahun 2015-2018 untuk menghindari hiruk pikuk politik.
Kemudian, akhir-akhir ini sejak 2020 hingga 2022 sedang dilakukan studi kelayakan di Kalimantan Barat karena wilayah ini jarang terjadi gempa bumi, sehingga dianggap aman untuk dijadikan lokasi pembangunan PLTN.
Baca juga: Jalan panjang pengembangan energi nuklir nasional
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021