"Kekerasan berbasis gender online jumlahnya semakin meningkat dan menjadi momok menakutkan bagi banyak perempuan di Indonesia," kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta Selasa.
Ia mengatakan berkembangnya era digital di Tanah Air tidak saja membawa manfaat positif tetapi pada saat bersamaan juga menjadi ancaman serius terutama bagi kaum perempuan.
Oleh sebab itu, keadaan tersebut perlu mendapat perhatian serius bukan saja dari masyarakat tetapi juga pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya.
Baca juga: Kekerasan berbasis gender online jadi sorotan Indonesia-Inggris
Baca juga: Inggris sumbang Rp1,5 miliar kepada Indonesia untuk lawan "KBGO"
Baca juga: RUU PKS masuk prolegnas 2021 beri sinyal positif upaya lawan KBGO
"Dari banyak catatan yang kami kumpulkan, baik dari Komnas Perempuan, Safenet, LBH Apik dan lembaga-lembaga lainnya, kekerasan berbasis gender online ini sangat marak terjadi," katanya.
Menurut dia masalah tersebut perlu segera disikapi untuk mencegah bertambah banyaknya korban yang jumlahnya cenderung meningkat hari ke hari sebab sangat mengkhawatirkan.
Ia menyebutkan kasus kekerasan berbasis gender online meningkat sebanyak 940 kasus pada 2020 atau terdapat peningkatan tiga kali lipat dari 2019. Belum lagi kasus penyebaran konten intim non-konsensual yang jumlahnya juga meningkat sebesar 375 persen atau setara 169 kasus pada 2020.
"Ini sangat serius sekaligus memprihatinkan. Rata-rata korbannya adalah perempuan," ujarnya.
Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Golkar tersebut membeberkan dari temuan yang ada bentuk kekerasan berbasis gender online yang banyak menimpa perempuan di Indonesia antara lain love scam, revenge porn, sexortation hingga pemalsuan akun dengan tujuan mencoreng nama baik korban.
Termasuk pula sexting, cyber stalking, viktimisasi dan cyber harassing yang membanjiri akun korban dengan komentar yang mengganggu, mengancam atau menakut-nakuti korban.
"Ini semua bentuk kekerasan riil dan ini sedang menimpa perempuan Indonesia," ujarnya.
Oleh karena itu, upaya-upaya misalnya dari sisi literasi etika bermedia sosial yang selama ini digaungkan perlu terus tingkatkan. Selain itu diperlukan juga langkah perlindungan yang jelas dan tegas dari negara.
Dalam artian negara perlu secara serius memikirkan langkah-langkah konkret perlindungan terutama bagi perempuan yang selama ini banyak menjadi korban.
"Apakah dibutuhkan kerangka legislasi selain upaya literasi digital atau media sosial? Biasakan saja, bahwa perilaku kita di dunia nyata harus sama beradabnya dengan perilaku di ruang digital," ujar Christina.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021