"Saya berpendapat bahwa apabila ada suatu rencana bahwa net-zero emission dicapai, katakanlah, 50 tahun lagi dari sekarang ini justru bisa menghadirkan berbagai risiko dari net-zero emission itu sendiri," kata Hariadi dalam diskusi virtual membahas ambisi net-zero emissions Indonesia, Jakarta pada Rabu.
Hal itu karena dapat dilihat meningkatnya frekuensi bencana di Indonesia yang mengancam ketahanan pangan dan pasokan air bersih yang secara keseluruhan bisa disimpulkan daya dukung dan tampung lingkungan sudah semakin menurun.
Hariadi mengatakan jika masih terdapat sikap toleran terhadap perusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam dalam konteks ekstraktif maka terdapat kemungkinan kondisi itu tidak bisa dipulihkan kembali.
Baca juga: Bappenas siapkan beberapa skenario Indonesia capai nol emisi karbon
Baca juga: Kepala Bappenas: Ekonomi hijau jadi tujuan utama transformasi ekonomi
"Dan itu perlu kesegeraan untuk memastikan ini tidak terjadi," tambahnya.
Implikasinya, kata Hariadi, perlu ketegasan terkait usaha ekstraktif seperti batu bara yang memerlukan rencana aksi sendiri untuk mengurangi penggunaannya dan dalam saat bersamaan bergerak menuju energi alternatif yang berkelanjutan.
Dalam kesempatan itu dia juga menyoroti masih belum sempurnanya tata kelola untuk melakukan langkah tersebut dengan adanya ketimpangan dalam pengawasan dari izin-izin yang telah dikeluarkan.
Di diskusi yang sama, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nur Hidayati mengatakan perlu ada target yang lebih ambisius terkait penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia dan pelibatan yang lebih luas terhadap semua komponen masyarakat.
"Jadi memberikan peluang kepada aktor non-pemerintah untuk juga ikut berperan serta dalam komitmen negara kita ini," kata Nur Hidayati.*
Baca juga: Indonesia dorong kolaborasi internasional capai target penurunan GRK
Baca juga: BPPT kembangkan berbagai teknologi mitigasi perubahan iklim
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021