Komisioner KPPU Yudi Hidayat melalui keterangannya, Rabu, mengatakan, terdapat tiga potensi permasalahan dalam kebijakan importasi garam saat ini yang dapat mengarah pada penguasaan pasokan garam oleh importir tertentu.
"Ada tiga permasalahan dalam importasi garam itu dan semuanya mengarah pada penguasaan pasokan oleh importir tertentu. Itulah kenapa kami meminta kepada pemerintah agar mewajibkan para importir serahkan data penggunaan garam impornya itu," ujarnya.
Yudi Hidayat mengatakan, tujuan dari penyerahan data impor penggunaan garam oleh importir agar pemerintah dapat memantau hubungan realisasi impor garam industri dan penggunaannya untuk kepentingan industri.
Dia menyatakan, dengan adanya data penggunaan garam impor ini, pemerintah dapat memastikan bahwa impor dilakukan untuk keperluan industri dan mencegah masuknya garam industri tersebut di pasar garam rakyat.
"Yang di impor adalah garam industri. Jika data penggunaan garam impor ini ada, kita bisa kalkulasi kebutuhan garam impor itu untuk industri saja dan supaya tidak masuk ke pasar garam rakyat," katanya.
Baca juga: Produk garam berkualitas Bali didorong untuk pasar lokal
Baca juga: Petambak garam minta pemerintah kaji ulang kebijakan impor garam Sebelumnya, pemerintah telah memutuskan kenaikan impor garam industri menjadi 3 juta ton, dari proyeksi 4,6 juta ton kebutuhan.
Menurut Yudi, importasi tersebut tidak dapat dihindari karena kualitas produksi garam rakyat yang belum mampu memenuhi kualitas kebutuhan industri.
"Masalahnya, impor garam industri ini dilaksanakan di tengah masih tersedianya stok garam nasional dalam jumlah yang signifikan, yakni di atas satu juta ton," katanya.
Ia mengatakan, kebijakan baru telah dikeluarkan saat ini, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Pasal 291 mengatur bahwa importir garam harus memprioritaskan penyerapan garam hasil produksi petambak garam yang tersedia di gudang garam nasional dan/atau gudang garam rakyat untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Saat ini impor garam untuk keperluan industri menggunakan model kuota per importir. Ini rentan mengarah kepada penguasaan pasokan garam di pasar oleh pelaku usaha yang terbatas.
Kebijakan ini dapat mendorong supernormal profit melalui penjualan garam industri ke garam konsumsi seiring dengan perbedaan harga yang tinggi diantara keduanya.
Baca juga: Tolak impor garam, nelayan mau pelatihan teknologi
Baca juga: Wagub NTT minta dukungan DPD membantu penyerapan garam lokal KPPU mencatat adanya paling tidak tiga potensi permasalahan dalam kebijakan importasi garam. Pertama, adanya potensi garam industri dari impor yang tidak terpakai masuk
ke pasar garam konsumsi, sebagai akibat kesalahan dalam mengestimasi kebutuhan impor.
Berdasarkan data, kebutuhan garam nasional tahunan saat ini berada di sekitar 4,6 juta ton, dengan hampir 84 persen atau 3,9 juta ton diantaranya berasal dari kebutuhan garam industri.
Hanya sekitar 7 persen untuk kebutuhan rumah tangga. Stok garam lokal sekitar 1,3 juta ton. Analisis pemerintah terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi dan sektor industri pengolahan tahun 2021 menunjukkan estimasi 2,49 hingga 3,01, masih berada di bawah tingkat pertumbuhan 2019, yakni sebesar 3,8.
Kemungkinan sektor yang paling banyak membutuhkan garam industri (CAP dan aneka pangan) juga mengalami pertumbuhan kebutuhan di bawah tahun 2019.
Apabila kebutuhan impor garam sektor 2,5 juta ton (2019) dengan pertumbuhan sektor pengolahan 3,8, maka kebutuhan impor garam industri di 2021 tidak akan mencapai 3 juta ton.
Dengan demikian kebutuhan garam industri tahun 2021 tidak sebesar tahun 2019, dan berpotensi "over" estimasi.
Permasalahan kedua adalah realisasi importasi yang mungkin tidak tercapai sepenuhnya.
Importir melakukan impor dilakukan sesuai alokasi kuota yang ditetapkan pemerintah untuk kebutuhan internal.
Berdasarkan data, realisasi impor yang dilakukan per April 2021 mencapai 412 ribu ton atau 19,67 persen dari total rekomendasi dikeluarkan yang mencapai 2,1 juta ton. Apabila dihitung dari alokasi impor sebesar 3 juta, maka realisasi impor per April baru mencapai 13,38 persen.
Jika dibandingkan dengan tahun lalu, realisasi impor garam mencapai 1,8 juta ton. Sehingga terdapat potensi impor yang tidak dilaksanakan. Atau dilaksanakan, namun tidak digunakan sebagaimana peruntukan garam industri.
Baca juga: Anggota DPR ingatkan garam di rakyat banyak belum terserap
Baca juga: Impor datang petambak garam meradang Permasalahan ketiga adalah lemahnya pengawasan pascaimportasi. Saat ini tidak terdapat mekanisme pengawasan terhadap penggunaan garam impor oleh importir.
Sehingga tidak tertutup kemungkinan terdapat sisa stok garam impor yang tidak terpakai oleh industri dan berpotensi masuk ke pasar garam rakyat, apalagi dengan disparitas harga yang tinggi.
Potensi masuknya kelebihan garam impor ke pasar garam rakyat menjadi semakin besar apabila importir tidak melaporkan penggunaan serta penyaluran garam impor kepada
Pemerintah.
Potensi tersebut semakin besar apabila importir tersebut tidak menggunakan garam tersebut dalam proses produksinya, namun bertindak sebagai importir untuk memenuhi kebutuhan garam untuk industri lain di dalam negeri.
Untuk itu, KPPU berpendapat bahwa pemerintah perlu melakukan pengawasan terhadap industri pengguna garam impor serta importir garam, khususnya dengan mewajibkan penyerahan data penggunaan garam impor kepada Pemerintah.
Selanjutnya melakukan perbaikan mekanisme penunjukan importir guna memastikan agar stok garam impor tidak jatuh pada penguasaan kelompok tertentu dalam porsi yang signifikan.
Baca juga: Memaksimalkan penyerapan garam hasil petambak negeri ini
Baca juga: Faisal Basri: Garam ini komoditas bagi-bagi rente
Pewarta: Muh. Hasanuddin
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2021