• Beranda
  • Berita
  • Minyak naik tipis, produksi Libya turun imbangi risiko permintaan

Minyak naik tipis, produksi Libya turun imbangi risiko permintaan

23 April 2021 06:38 WIB
Minyak naik tipis, produksi Libya turun imbangi risiko permintaan
Ilustrasi - Ladang minyak BP Eastern Trough Area Project (ETAP) di Laut Utara, sekitar 100 mill dari Aberdeen Skotlandia. (ANTARA/REUTERS/Andy Buchanan/am.)

Harga minyak sedikit melemah pada akhir perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB)

Harga minyak sedikit melemah pada akhir perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB), karena kekhawatiran atas produksi minyak mentah yang lebih rendah di Libya mengimbangi ekspektasi bahwa meningkatnya kasus COVID-19 di India dan Jepang akan menyebabkan permintaan minyak menurun.

Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Juni, naik tipis delapan sen atau 0,1 persen menjadi ditutup pada 65,40 dolar AS per barel. Sedangkan, minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI), juga naik delapan sen atau 0,1 persen, menjadi berakhir pada 61,43 dolar AS per barel.

Libya mengatakan produksi minyaknya turun menjadi sekitar satu juta barel per hari dalam beberapa hari terakhir dan bisa turun lebih jauh, karena masalah anggaran.

"Pasar menyadari bahwa kembalinya permintaan minyak secara global tidak dapat datang tanpa kembalinya ekonomi-ekonomi terbesar dunia," kata Bjornar Tonhaugen, kepala pasar minyak di Rystad Energy, mencatat "India sedang menyelam semakin dalam dan semakin dalam ke dalam krisis besar dengan infeksi membuat rekor baru setiap hari."

"Peningkatan lebih lanjut dalam jumlah kasus baru COVID di India memicu keraguan tentang bagaimana permintaan di sana akan meningkat," Carsten Fritsch, analis energi di Commerzbank Research, mengatakan dalam sebuah catatan pada Kamis (22/4/2021), menambahkan meningkatnya infeksi di Jepang juga menjadi perhatian.

"India dan Jepang termasuk di antara konsumen dan importir minyak terbesar dunia," katanya.

India, pengguna minyak terbesar ketiga di dunia, pada Kamis (22/4/2021) melaporkan peningkatan harian tertinggi di dunia hingga saat ini dengan 314.835 kasus baru COVID-19.

Kilang-kilang Indian Oil Corp Ltd (IOC) beroperasi pada sekitar 95 persen dari kapasitas mereka, turun dari 100 persen pada waktu yang sama bulan lalu, dua sumber yang mengetahui masalah tersebut mengatakan kepada Reuters.

Jepang, importir minyak nomor empat dunia, diperkirakan akan mengumumkan gelombang ketiga penguncian yang mempengaruhi Tokyo dan tiga prefektur barat, media melaporkan.

Sentimen bearish yang mendasari juga dipicu oleh kemajuan pembicaraan antara Iran dan kekuatan-kekuatan dunia untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir 2015, kata analis minyak PVM, Tamas Varga. Analis mengatakan Iran memiliki potensi untuk menyediakan sekitar 1-2 juta barel per hari (bph) tambahan pasokan minyak jika kesepakatan tercapai.

Setiap peningkatan pasokan dari Iran akan berada di atas barel ekstra yang sudah diperkirakan dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, termasuk Rusia, sebuah kelompok yang dikenal sebagai OPEC+, yang berencana untuk mengembalikan sekitar dua juta barel per hari produksi selama tiga bulan berikutnya.

Anggota OPEC+ akan bertemu minggu depan, tetapi perubahan besar pada kebijakan produksi tidak mungkin terjadi, kata Wakil Perdana Menteri Rusia dan sumber OPEC+.

Sedangkan Bank Sentral Eropa (ECB) membiarkan kebijakannya tidak berubah seperti yang diperkirakan, menjaga aliran stimulus yang berlebihan, bahkan saat ekonomi zona euro diprediksi rebound dalam beberapa bulan mendatang karena pembatasan pandemi dicabut.

Di Amerika Serikat, jumlah orang yang mengajukan klaim baru untuk tunjangan pengangguran turun ke level terendah 13 bulan minggu lalu. Tetapi, sementara pemulihan pasar tenaga kerja semakin cepat, bendera merah muncul di pasar perumahan dengan penjualan rumah bekas turun ke level terendah tujuh bulan pada Maret.

Dalam jangka panjang, permintaan minyak diperkirakan akan terpukul, karena lebih banyak negara mengadopsi kebijakan untuk memerangi perubahan iklim.

Amerika Serikat dan negara-negara lain menaikkan target mereka untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada pertemuan puncak iklim global yang diselenggarakan oleh Presiden Joe Biden, sebuah acara yang dimaksudkan untuk menghidupkan kembali kepemimpinan AS dalam perang melawan pemanasan global.

Biden mengungkapkan tujuan untuk mengurangi emisi hingga 50-52 persen dari tingkat 2005. Jepang hampir menggandakan targetnya untuk mengurangi emisi karbon menjadi 46 persen pada 2030.
Baca juga: Harga minyak dunia jadi tantangan berat mandatori biodiesel 2021
Baca juga: China pertahankan harga BBM di tengah terpuruknya harga minyak dunia

 

Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021