Organisasi itu mengatakan bahwa mekanis pasif bilah serat karbon elastis yang digunakan Leeper memberinya kelebihan panjang kaki 104 sentimeter dan tinggi badan ketika dia berdiri menjadi 184 sentimeter. Dengan demikian, Leeper mendapatkan keunggulan kompetitif dibandingkan atlet lain yang tidak menggunakan alat bantu semacam itu.
Atletik Dunia memiliki aturan tentang tinggi badan maksimum yang diijinkan (MASH) yang mencegah atlet penyandang disabilitas dari "kompensasi berlebihan karena ketiadaan anggota tubuhnya" dan regulasi tersebut diterapkan dalam kasus Leeper.
Keputusan itu berarti Leeper tidak dapat bersaing memakai RSP baru ini di berbagai event atletik internasional ... atau Olimpiade, kata Organisasi Atletik Dunia dalam sebuah pernyataannya dan dilansir Reuters, Senin.
Baca juga: Atletik Dunia optimistis Olimpiade Tokyo sesuai jadwal
Leeper hanya diizinkan menggunakan kaki palsunya itu di kompetisi internasional lainnya, tetapi hasil lomba tidak akan diakui dan akan dicantumkan secara terpisah.
Pada Oktober lalu, Leeper kalah dalam banding di Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) karena pelarangan menggunakan kaki palsunya itu yang memungkinkannya bersaing dengan atlet berbadan sehat, sekaligus mengakhiri peluangnya ikut serta di Olimpiade Tokyo.
Leeper, 31 tahun, yang terlahir tanpa kaki di bawah lutut, finis kelima di nomor lari 400 meter dalam kejuaraan Amerika Serikat pada tahun 2019 tetapi dia dilarang berkompetisi di kejuaraan dunia berikutnya di Doha.
Baca juga: Kejuaraan dunia atletik indoor di China diundur lagi hingga 2023
Baca juga: Pelari asal Kenya, Kandie pecahkan rekor dunia half marathon
Pewarta: Junaydi Suswanto
Editor: Teguh Handoko
Copyright © ANTARA 2021