"Komunitas-komunitas diaspora Muslim Indonesia di Belanda, berusaha menjadi jembatan untuk menguatkan narasi positif tentang Islam dan budaya," kata mahasiswa doktoral Universitas Leiden asal Indonesia Syahril Siddik dalam peluncuran buku ‘Diaspora Muslim Indonesia di Belanda’ pada Rabu (28/4).
Ada beberapa komponen diaspora Muslim di Belanda, antara lain Persatuan Pemuda Muslim se-Eropa, PCI Nahdlatul Ulama, PCI Muhammadiyah, Stichting Generasi Baru (SGB) Utrecht, Pengajian Mahasiswa Muslim, Pengajian Dharma Wanita KBRI Den Haag, Stichting Indahnya Sedekah, dan Tombo Ati Den Haag.
Syahril mengatakan PCI Nahdlatul Ulama Belanda setiap dua tahun sekali menyelenggarakan konferensi tentang Islam Indonesia dalam konteks global.
Hal yang sama, menurut penggerak PCI Nahdlatul Ulama Belanda itu, juga dilakukan beberapa komunitas lain yang berkontribusi tidak kalah besar untuk mengenalkan Islam dan budaya Indonesia di Belanda.
Syahril mengisahkan bahwa upaya untuk mempromosikan narasi positif Islam tidak selalu berjalan mulus.
“Ada satu peristiwa, ketika PCINU Belanda mengadakan konferensi di Nijmegen itu ada protes dari kelompok dari organisasi ekstrem kanan di kota itu. Mereka mengatakan, menolak kedatangan Menteri Agama Republik Indonesia karena dianggap masih menyetujui penerapan syariah di Indonesia," katanya.
Ia menuturkan bahwa banner penolakan sempat di pasang di kampus Nijmegen. Namun, tambah dia, sikap kelompok penentang kemudian melunak setelah memperoleh penjelasan bahwa konferensi yang diselenggarakan adalah konferensi Islam moderat.
Lebih lanjut, Syahril mengungkapkan ada pernyataan dari politisi sayap kanan Belanda yang memandang Muslim Indonesia bukan sebagai musuh.
“Ada statement dari Geert Wilder, bahwa yang diinginkan berkurang adalah Muslim dari Maroko dan Afrika. Lalu, ada yang tanya, kalau Muslim dari Belanda gimana? Jawab Wilder, mereka itu berbeda, boleh stay di Belanda. Itu juga pernyataan dari beberapa politisi anti-imigran di Belanda. Jadi, itu menunjukkan Islam Indonesia bisa sebagai salah satu jalur diplomasi budaya di Belanda,” kata Syahril yang sedang melakukan riset kajian Islam dan media baru.
Sementara itu, Amin Mudzakir, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengungkapkan bahwa berkembangnya komunitas-komunitas Muslim di Belanda didorong oleh antara lain tumbuhnya warga Muslim Indonesia dan juga mahasiswa dari kelompok santri.
Selain itu, menurut Amin, ada juga kesadaran untuk mentransnasionalisasi Islam Indonesia ke level global.
“Jadi, pada tahun 2000-an ada kesadaran untuk mentransnasionalisasi Islam Indonesia ke level internasional,” kata Amin mengenai ide mengekspor ideologi atau paham keagamaan Islam ala Indonesia ke luar negeri, termasuk Belanda.
Amin menilai para mahasiswa Muslim ingin memperlihatkan kepada warga Eropa, bahwa di dunia ada satu bentuk Islam yang tidak sama dengan Islam Arab, atau Islam Maroko.
“Ada satu kesadaran internal untuk memperkenalkan satu bentuk Islam yang lain, yang lebih kultural,yang bisa dikatakan adaptif dengan situasi setempat. Jadi, ada kebutuhan dari para mahasiswa yang ingin mempertahankan tradisi keagamaan di negeri orang, tapi di sisi lain ada kebutuhan untuk memperkenalkan satu bentuk keagamaan yang berbeda dengan kesan yang ditangkap sebagian warga Belanda, misalnya Islam dari Timur Tengah dan Afrika Utara,” katanya.
Bagi Amin, keberadaan komunitas Muslim di Belanda selain oleh karena alasan ideologis juga karena alasan kepraktisan.
“Banyak warga pekerja yang undocumented mereka bergabung dengan pengajian-pengajian dengan alasan sangat praktikal. Ada nuansa empowerement, misal dengan ikut pengajian mereka bisa kenal banyak pihak, yang membantu dalam urusan-urusan tertentu. Jadi, ketika ada masalah, mereka bisa mengetahui bertanya kepada siapa,” katanya.
Ia juga menyebut sejumlah tokoh agama yang menurutnya berjasa menguatkan diplomasi soft power, antara lain Kiai Nur Hasyim, sahabat Presiden Abdurrahman Wahid yang berjasa penting dalam merawat komunitas-komunitas pengajian di Belanda.
Sementara itu Fachri Aidulsyah, tim penulis buku Diaspora Muslim Indonesia di Belanda, menyatakan meski jumlah diaspora Muslim Indonesia di Belanda lebih sedikit dibandingkan diaspora Turki, Maroko, maupun Suriname.
Namun, katanya, diaspora Muslim Indonesia turut berperan penting dalam membuat khazanah keislaman di negeri Kincir Angin itu lebih dinamis.
Ia menyebut kegiatan advokasi yang dilakukan komunitas diaspora Muslim Indonesia di Belanda, mulai dari penerjemahan dan penerbitan Al Quran hingga pengurusan jenazah dan dakwah.
Pada kesempatan itu, Syahril juga menjelaskan peran Universitas Leiden dalam mendorong tumbuhnya komunitas Muslim Indonesia di Belanda melalui kerja sama antara universitas dengan beberapa kampus agama di Indonesia.
Ia juga menjelaskan bagaimana PCI Nahdlatul Ulama Belanda dibentuk pada 2012, termasuk tantangan yang dihadapi diaspora Muslim Indonesia di Belanda.
PCINU dinilai memberikan narasi Islam yang berbeda, atau Islam yang adaptif terhadap budaya dan nilai-nilai yang ada di Belanda.
“Masih ada anggapan bahwa warga diaspora Muslim di Belanda itu tidak bisa baca al-Qur’an, atau tidak bisa bahasa Arab. Ini anggapan dari sebagian warga Belanda yang keturunan dari Timur Tengah. Selain itu, warga diaspora Muslim kita masih sangat komunal. Jarang sekali ada pernikahan warga Muslim Indonesia dengan warga Muslim dari negeri lain. Di sisi lain, persoalan-persoalan politik di Indonesia, semisal Pilpres dan Pilgub, juga terbawa sampai Belanda, hingga menjadi perdebatan," katanya.
Baca juga: Dubes RI dorong diaspora dukung promosi Indonesia di Inggris, Irlandia
Baca juga: Moeldoko gelar audiensi dengan ratusan diaspora Indonesia di Amerika
LIPI rintis ekosistem riset untuk diaspora peneliti Indonesia
Pewarta: Munawir Aziz
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2021