• Beranda
  • Berita
  • CIPS: Lahan hingga dominasi BUMN hambat masuknya investasi pertanian

CIPS: Lahan hingga dominasi BUMN hambat masuknya investasi pertanian

30 April 2021 14:10 WIB
CIPS: Lahan hingga dominasi BUMN hambat masuknya investasi pertanian
Petani memanen padi di Rajeg, Kabupaten Tangerang, Banten, Senin (13/4/2020). Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) memperkirakan produksi pertanian akan turun 1,64 hingga 6,2 persen akibat terganggunya rantai pasokan seiring adanya pengurangan aktivitas sosial akibat wabah COVID-19. ANTARA FOTO/Fauzan/hp.

Kalau pun tersedia, lahannya di mana? Karena lahan pertanian di Jawa sudah mahal dan padat penduduk. Kalau ke luar Jawa, banyak kekurangannya di infrastruktur seperti listrik, jalan hingga shipping (pengiriman/perkapalan)

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengungkapkan sejumlah isu yang dinilai menjadi penghambat masuknya investasi pertanian ke Indonesia, diantaranya masalah lahan hingga dominasi BUMN.

Associate Researcher CIPS Donny Pasaribu dalam webinar "Bagaimana Investasi Asing dapat Memajukan Pertanian Indonesia?", Jumat menjelaskan masalah lahan menjadi salah satu isu utama yang diangkat, utamanya terkait kejelasan kepemilikan lahan hingga potensi konflik lahan.

"Kalau pun tersedia, lahannya di mana? Karena lahan pertanian di Jawa sudah mahal dan padat penduduk. Kalau ke luar Jawa, banyak kekurangannya di infrastruktur seperti listrik, jalan hingga shipping (pengiriman/perkapalan)," katanya.

Meskipun beberapa investor bersedia untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan, namun margin keuntungan yang tidak terlalu besar dari hasil panen tanaman pangan tidak bisa membenarkan investasi tersebut.

Donny juga menyoroti regulasi dan kebijakan investasi di bidang pertanian yang dinilai restriktif, kompleks dan cenderung tidak konsisten. Padahal, investasi asing di bidang itu dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian, keterjangkauan harga pangan serta kualitas pangan nasional.

"Jadi kadang open (terbuka), mengundang, tapi juga ada yang anti sekali sehingga ini menciptakan ketidakpastian bagi investor," katanya.

Donny mengungkapkan, reformasi yang lebih luas di luar permasalahan lahan dan infrastruktur, termasuk yang berkaitan dengan keterbukaan perdagangan dan peran BUMN dalam mencapai tujuan swasembada, juga diperlukan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif di sektor pertanian.

Ia menilai swasembada pangan sudah sejak lama digaungkan sebagai tolok ukur kesuksesan sektor pertanian. Padahal harga yang harus dibayar untuk itu adalah harga pangan domestik yang lebih tinggi, diversifikasi konsumsi pangan yang minim dan alokasi sumber daya yang tidak tepat.

Donny juga mengatakan kelemahan institusional serta data yang tidak akurat juga berdampak pada minat investasi di bidang pertanian. Selain itu, ada faktor perbedaan budaya dan kesulitan mendapatkan mitra lokal serta keterampilan tenaga kerja.

Terakhir, soal dominasi BUMN, di mana investor melihat adanya perlakuan khusus bagi BUMN dalam berinvestasi di bidang pertanian. Pasalnya, BUMN mendapatkan insentif dan subsidi sehingga membuat investor asing maupun domestik enggan ikut masuk.

"Investor baik lokal maupun asing, mereka lihat kalau sudah ada BUMN, mending ga usah ikut-ikutan dan cari saja sektor lain," katanya.

Lebih lanjut, menurut Donny, pemerintah sebenarnya sudah merespons urgensi reformasi kebijakan melalui deregulasi lewat UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Namun masih dibutuhkan sejumlah penyesuaian pada peraturan turunan dan teknis untuk mengatasi rumitnya proses serta persyaratan untuk mendapatkan izin investasi, serta transparansi dan konsistensi pelaksanaan kebijakan.

Baca juga: CIPS sebut investasi pertanian perlu ditingkatkan agar berdaya saing

Baca juga: Relaksasi UU Cipta Kerja dinilai mampu dorong produktivitas pertanian

Baca juga: Tingkatkan ketahanan pangan, investasi pertanian harus digenjot


 

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021