"Ini untuk menyikapi fenomena maraknya mahasiswa yang terpapar ideologi radikalisme," ujar Akademisi Unesa Dr. Muhammad Turhan Yani usai webinar.
Menurut dia, maraknya mahasiswa yang terpapar radikalisme telah menjadi perhatian semua pihak, khususnya sivitas akademika, agar kasus tersebut tidak terus berlanjut tanpa adanya penanganan.
Pembahasan tersebut, kata dia, juga sebagai salah satu upaya insan akademik ikut memberikan perhatian dengan langkah preventif pencegahan agar mahasiswa jangan sampai terpapar radikalisme.
"Hal itu penting agar kehidupan bangsa ini lebih harmonis dan damai," ucap dia.
Pria yang juga Ketua Komisi Pendidikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur itu menyebut mahasiswa sebagai subyek perlu mendapat bekal sesuai dengan nilai luhur agama dan ideologi Pancasila agar tak terpapar paham radikalisme dan ekstremisme.
"Perlu ada proses filterisasi, sivitas akdemika perlu difilter. Mulai dari penerimaan dosen, mahasiswa dan tenaga pendidik harus memiliki wawasan kebangsaan sesuai ideologi Pancasila. Penguatan wawasan agama yang moderat juga menjadi bekal penting supaya orang tak terpapar radikalisme," katanya.
Baca juga: Bahas radikalisme, Mahasiswa Hukum Dr Soetomo temui Menko Polhukam
Baca juga: Unej bicara terkait ribuan mahasiswanya terpapar radikalisme
Ia menegaskan, semua pihak memiliki tanggung jawab moral untuk bisa menciptakan kehidupan bangsa lebih baik.
Ia mencontohkan di kampus, mahasiswa harus mendapat pendampingan semua pihak, sehingga jika ada tanda-tanda radikalisme dan ekstremisme bisa cepat ditangani.
"Generasi muda menjadi aset yang penting untuk dikawal. Apa yang disampaikan salah satu narasumber, yakni mantan narapidana teroris, Wildan menjadi pembelajaran yang baik. Alhamdulillah dengan kesadaran penuh dia rujuk ke NKRI. Yang belum rujuk seperti dia semoga cepat kembali," tutur-nya.
Mengenai seorang mahasiswa yang menjadi satu teroris di Mabes Polri, Turhan menegaskan pelaku bukanlah mahasiswa karena telah dikeluarkan kampusnya sejak semester IV.
"Pelaku terorisme di Jakarta, ternyata adalah mantan mahasiswa, artinya dia sudah lepas dari pantauan kampus saat melakukan aksi tersebut. Dia mahasiswa angkatan 2012, dan dikeluarkan di semester IV," ungkap-nya.
Dia menduga, setelah dikeluarkan kampusnya, pelaku bergaul dengan kelompok radikalisme dan dipengaruhi media sosial sehingga melakukan hal tindakan teror.
"Ini tentu tak ada hubungan dengan kampus. Ketika dia melakukan itu statusnya bukan mahasiswa dan tidak dalam pantauan kampus untuk mendapat pembinaan," ujarnya.
Baca juga: 22 persen mahasiswa Unej terpapar radikalisme
Pewarta: Fiqih Arfani/Willy Irawan
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021