• Beranda
  • Berita
  • Aktivis: Peningkatan peran perempuan perkuat pembangunan wilayah Papua

Aktivis: Peningkatan peran perempuan perkuat pembangunan wilayah Papua

3 Mei 2021 14:43 WIB
Aktivis: Peningkatan peran perempuan perkuat pembangunan wilayah Papua
Dua perempuan berjalan di jembatan sepanjang 3.250 meter di kawasan Hutan Klaso menuju Kampung Klagufuk Malaumkarta, Kabupaten Sorong, Papua Barat, Selasa (16/3/2021). ANTARA FOTO/Olha Mulalinda/aww.

penghancuran terhadap wilayah-wilayah penghidupan perempuan

Aktivis dari Kelompok Kerja Papua untuk Perempuan (Papuan Women's Working Group), Frida Klasin, mengatakan peningkatan peran perempuan akan berdampak pada peningkatan dan percepatan pembangunan wilayah Papua.

Pembangunan yang baik itu adalah menuntut adanya partisipasi seluruh pihak termasuk di dalamnya adalah perempuan, perempuan seharusnya sebagai penerima manfaat dari pembangunan maka pembangunan harus juga menjawab kebutuhan perempuan, kata Frida dalam acara Peluncuran Website Dokumentasi Papua dan Diskusi "Empat Dekade Kiprah LIPI di Tanah Papua" secara virtual, Jakarta, Senin.  

"Alih-alih menjawab kebutuhan perempuan, yang perempuan dapati adalah justru penghancuran terhadap wilayah-wilayah penghidupan perempuan apabila itu kebijakan berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam hal ini hutan," katanya. 

Frida menuturkan dalam penelitian yang dilakukan pihaknya, ternyata di tempat-tempat di mana terjadi pengelolaan sumber daya alam justru di situ kantong kemiskinan paling kuat yang menerpa perempuan.

Sejatinya pembangunan harus juga menjawab kebutuhan perempuan dan pemenuhan hak-hak dasar mereka tetapi yang terjadi adalah penghancuran terhadap wilayah-wilayah mereka.

Selain itu, Frida menuturkan ada dominasi adat dan kebiasaan yang lebih berpihak kepada laki-laki ketimbang perempuan dalam kehidupan bersama.

Sejumlah kondisi yang masih sering dijumpai yang juga menghambat peran kaum perempuan, antara lain pemikiran dan sikap yang sering menomorduakan kaum perempuan dalam komunitasnya, penindasan oleh kebiasaan-kebiasaan atas nama adat dan budaya patriaki, dan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan.

"Mereka (perempuan) seakan tidak didengar, tidak mendapat ruang untuk menyampaikan pendapat, mereka dianggap tidak perlu didengar padahal kita tahu bersama bahwa perempuan memiliki peran yang sangat penting termasuk dalam konteks pembangunan," ujar Frida.

Kondisi lainnya yang menghambat adalah kurangnya pemberdayaan kepada kaum perempuan untuk meningkatkan kapasitasnya, beban ganda tugas yang berat, perempuan dibatasi dalam ruang publik yang berpengaruh terhadap kesempatan untuk dapat menyampaikan pendapat, partisipasi perempuan dalam berpolitik terutama untuk memenuhi kuota 30 persen belum diketahui oleh perempuan.

"Ada kekerasan berlapis yang dialami oleh perempuan perempuan dalam komunitasnya bahkan perempuan ketika berhadapan dengan kebijakan negara terkait dengan pembangunan," tuturnya.

Baca juga: Kepedulian perempuan Papua cegah COVID-19

Baca juga: Kemristek dukung perempuan Indonesia berperan lebih dalam pembangunan


Frida mengatakan pembangunan menuntut partisipasi masyarakat yang di dalamnya ada laki-laki dan perempuan, namun nyatanya perempuan sering kali tidak didengar.

Perempuan seharusnya sebagai penerima manfaat dari pembangunan, tapi nyatanya perempuan Papua banyak kali tidak mengetahui rencana dalam pembangunan.

Di lain sisi, Frida mengatakan dalam berbagai kesempatan, masih terus terdengar dan terlihat angka-angka yang menunjukkan ketertinggalan perempuan, angka kemiskinan yang terwakili oleh kelompok perempuan, terpuruknya kaum perempuan Papua di pasar, bahkan angka kematian perempuan hamil dan melahirkan masih tercatat sebagai masalah serius.

Namun arah perbaikan situasi tersebut harus terus dilakukan.

Menurut Frida, harus ada program yang terencana dalam peningkatan kapasitas bukan hanya bagi perempuan semata tapi juga bagi komunitas, bahkan jika perlu menjadi program bersama di tingkat komunitas.

Oleh karena itu, perempuan harus diberikan ruang untuk bisa berpartisipasi menyampaikan pendapatnya tentang pembangunan yang berkaitan dengan budaya hidup mereka yakni hutan, dan kebijakan politik 30 persen dan otonomi khusus bagi perempuan itu juga harus diterjemahkan dengan baik terkait siapa penerima manfaatnya dan sasarannya itu kepada siapa dan bagaimana itu digunakan.

Pendampingan yang memadai terhadap perempuan itu masih diperlukan. Jika hanya program di atas kertas, maka sama dengan masih memelihara kebiasaan-kebiasaan yang masih membebani perempuan dengan kebiasaan adat yang mengungkung, masih juga memelihara kebiasaan-kebiasaan bahwa perempuan itu tidak terlalu dominan untuk didengar karena tidak mencakup kepentingan satu komunitas padahal kemiskinan berwajah perempuan itu adalah kemiskinan terhadap komunitas.

Peningkatan kapasitas perempuan melalui organisasi-organisasi perempuan perlu ditingkatkan bahkan program-program yang riil yang berkaitan dengan kepentingan perempuan oleh beberapa dinas yang ada di provinsi maupun kabupaten kota juga harus dipertegas dengan dengan suara perempuan.

Hal lain yang turut mendukung partisipasi dan kontribusi perempuan dalam pembangunan dan meminimalisir kebiasaan adat adalah keterlibatan pihak keagamaan kelompok perempuan gereja juga kelompok perempuan mesjid, yang terus mendorong partisipasi kaum perempuan.

Baca juga: Pemerintah diminta lebih perhatikan perempuan adat

Baca juga: Bappenas: Perspektif gender penting dalam pembangunan

 

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021