Saat ini tidak hanya virus corona double mutant, tetapi sudah ada varian triple mutant di negara itu sehingga ilmuwan di sana terus berjuang menciptakan vaksin baru yang bisa mengatasi paparan varian baru itu.
Rekor orang yang terpapar virus itu dalam sehari di negara itu menembus 412.000 orang pada 6 Mei 2021 dan saat ini jumlah korban meninggal akibat virus itu mencapai 230.168 orang. Total orang terpapar sampai Rabu (5/5) mencapai 21 juta orang dengan kasus aktif saat ini 3.487.229 orang.
Jika dibandingkan dengan Indonesia, puncak pertama terjadi pada 30 Januari 2021 dengan titik puncak harian terpapar virus corona pada angka 14.518 kasus. Saat ini atau per 6 Mei 2021 Indonesia mempunyai jumlah kasus positif 1.697.305 orang dengan korban meninggal 46.496 orang.
Sementara jika dibandingkan jumlah penduduknya di tahun 2021, berdasarkan Wikipedia, India tercatat mempunyai penduduk 1.376.300.000 orang sementara Indonesia tercatat 271.349.889 orang. Itu artinya penduduk India, lima kali lipat penduduk Indonesia.
Demikian juga jika dilihat angka kematian di India akibat virus corona yang mencapai 230.168 orang, maka itu nyaris lima kali lipat dibanding angka kematian di Indonesia yang tercatat 46.496 orang
Dari catatan angka itu, harusnya membuat masyarakat tersadar bahwa apa yang dialami India sebenarnya secara proporsional sama dengan apa yang dihadapi Indonesia sesuai dengan jumlah penduduknya. Ada satu orang meninggal akibat corona dari populasi 5.835 orang di Indonesia dan satu orang meninggal akibat corona di India dari populasi 5,979 orang.
Tingkat kehilangan dari sanak saudara akibat virus itu di Indonesia juga sama besarnya dengan apa yang terjadi di India, seharusnya ini menjadi cerminan bahwa ketidaktaatan dalam menjalankan protokol kesehatan dan tidak menjaga mobilitas bisa berujung kematian orang terdekat kita.
Baca juga: TNI AD bantah kerahkan tank lakukan penyekatan larangan mudik
Perbedaan kasus
Perbedaan kasus India dan Indonesia hanya pada tahapan lonjakan kasus dimana di Indonesia kasus harian tidak meroket drastis sampai belasan kali lipat dalam dua bulan seperti yang dialami India, tetapi lonjakan di Indonesia itu bertahap setelah terjadi mobilisasi warga selama beberapa kali liburan. Mobilitas warga memang terbukti meningkatkan kasus sebaran virus asal Wuhan itu.
Tiga kali libur panjang di tahun 2020 telah mencatat lonjakan kasus COVID-19 yang signifikan. Tiga kali kejadian libur panjang 2020 adalah pada saat libur Idul Fitri di bulan Mei 2020, libur Hari Kemerdekaan di bulan Agustus, libur panjang di Oktober 2020.
Pada saat libur Idul Fitri pada 22-25 Mei 2020, terjadi kenaikan kasus setelah liburan yakni terjadi pada 6 Juni 2020 sampai dengan akhir Juni 2020 di mana terjadi peningkatan kasus sampai dengan sekitar 70-90 persen dari yang sebelumnya.
Sebelumnya angkanya pertambahan di kisaran 600 per harinya, namun tiba-tiba dia naik jadi 1.100 per harinya. Ini juga nyaris terjadi laju kenaikan seratus persen juga.
Saat itu juga kebijakan larangan mudik dikeluarkan Pemerintah, namun sebelum masa larangan mudik diberlakukan sudah ada jutaan warga yang mudik lebih dini, atau pemudik dini yang sudah bergerak ke kampung halaman.
Baca juga: KAI layani 2.852 penumpang non-mudik di hari pertama larangan mudik
Lonjakan pasti ada
Lonjakan kasus harian COVID-19 menjadi sesuatu yang sangat mungkin terjadi setelah libur Lebaran tahun ini karena fenomena pemudik dini itu juga kembali terjadi di tahun ini yang jumlahnya diperkirakan melebihi tahun sebelumnya.
Sehingga untuk mengukur berapa lonjakan yang kemungkinan bisa terjadi usai libur Lebaran tahun ini sangat ditentukan oleh seberapa besar jumlah mereka yang mudik dan seberapa besar ketaatan pemudik menjalani protokol kesehatan selama berkumpul dengan keluarga besarnya di kampung halaman. Ingat kluster keluarga mempunyai potensi penularan sepuluh kali lipat dibanding kluster lainnya.
Selain itu, musim mudik tahun ini juga dihantui dengan munculnya varian baru virus corona yang lebih menular seperti yang diungkap Juru Bicara COVID-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi.
Beberapa virus SARS-CoV-2 jenis baru sudah masuk ke Indonesia antara lain B117 asal Inggris, kemudian B1351 asal Afrika Selatan dan varian mutasi ganda dari India B1617 dan terakhir Dinkes Jawa Timur mengumumkan temuan varian kongo, Afrika.
Varian yang digolongkan dengan Varian of Concern itu diketahui memiliki tingkat penularan yang lebih tinggi sekitar 36 sampai 75 persen dibandingkan dengan jenis virus yang beredar sebelumnya.
WHO mencatat berbagai peningkatan kasus sampai 49 persen varian B117 yang bersirkulasi di Asia Tenggara. Di Indonesia, Kemenkes mencatat ada 13 kasus dari varian B117 yaitu di Sumatera Utara sebanyak dua kasus, Sumatera Selatan satu kasus, Banten satu kasus, Jawa Barat lima kasus, Jawa Timur satu kasus, Kalimantan Timur satu kasus dan Bali dua kasus.
Dari tiga belas kasus itu, sebanyak lima kasus B117 dilaporkan berasal dari imported case atau dibawa oleh Pekerja Migran Indonesia (PMI) sedangkan delapan kasus lainnya dilaporkan berasal dari transmisi lokal atau penularan antarwarga. Transmisi lokal itu berada di Tapin (Kalimantan Selatan), Palembang (Sumatera Selatan), Kota Medan (Sumatera Utara), Kabupaten Karawang (Jawa Barat) dan Kota Tanjung Balai (Sumatera Utara).
Sementara untuk varian baru B1617, Kemenkes mencatat berada di Kepulauan Riau sebanyak satu kasus dan DKI Jakarta dua kasus, sementara, B1531 terdeteksi berada di Bali sebanyak satu kasus.
Baca juga: Terminal Kalideres tolak dua penumpang tak penuhi syarat
Lama indentifikasi
Perlu dicatat identifikasi varian itu dilakukan cukup lama, artinya spesimen virus itu diambil satu sampai dua bulan sebelumnya sebelum akhirnya dinyatakan sebagai varian baru. Dengan demikian saat pengumuman adanya varian baru bisa jadi jumlah mereka yang terpapar sudah sempat menularkan pada sejumlah orang, walaupun ada langkah tracing (penelusuran) dari setiap kasus itu.
Satu kasus varian B1531 yang ditemukan dari warga Badung, Bali, ternyata diambil spesimennya pada pada tanggal 25 Januari 2021 dan pasien ini meninggal pada tanggal 16 Februari 2021 di RS Sanglah. Dimungkinkan selama mengidap virus itu, orang itu sudah berkontak dengan warga lainnya.
Demikian kasus varian kongo yang masuk Indonesia ini dibawa oleh sekelompok WNI yang sempat melakukan perjalanan dinas ke Afrika, salah satunya merupakan warga berdomisili di Kabupaten Mojokerto dengan status orang tanpa gejala.
Pemeriksaan whole genome sequencing membutuhkan waktu yang cukup lama dimana spesimen diambil pada Februari dan baru bulan April baru disimpulkan keberadaan strain mutasi asal Kongo itu.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan perlu melakukan penyelidikan berdasarkan metode epidemiologi untuk mengukur faktor risiko dari kontak fisik dengan pasien varian baru itu.
Ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yunis Miko Wahyono juga sependapat agar pemerintah Indonesia perlu meningkatkan pelacakan kontak (contact tracing) dan pengujian (testing) untuk menemukan lebih banyak kasus COVID-19.
Kasus harian yang setiap hari diumumkan Satgas COVID-19 bisa jadi merupakan angka semu disebabkan saat ini jumlah pelacakan kontak yang menurun jauh dan jumlah tesnya juga menurun. Artinya, jika dilakukan langkah penelusuran dan testing yang lebih masif di semua daerah bisa jadi angka harian akan meningkat, dan itu menjadi angka yang mendekati angka sesungguhnya.
Selain itu ahli epidemologi juga perlu membuat permodelan untuk memperkirakan luasnya sebaran varian baru tersebut, sehingga daerah yang menjadi titik sebar harus lebih waspada dan lebih ketat lagi membatasi mobilitas warga saat libur lebaran tahun ini.
Fakta adanya peningkatan mobilitas dan ancaman varian baru harus disikapi masyarakat untuk memilih tidak mudik karena siapa yang menjamin apakah sepanjang perjalanan dan kondisi kampung halaman, sudah aman dari paparan varian baru itu.
Kemenkes juga sudah mengimbau kepada masyarakat untuk mengurangi mobilitas karena tidak ada yang menjamin bahwa dengan membawa hasil pemeriksaan laboratorium yang negatif selama dalam perjalanan ataupun selama dalam perjalanan menuju kampung halaman bisa bebas dari paparan virus corona.
Kekhawatiran ini juga sudah direspon oleh Pemerintah yang tiga hari lalu secara tegas melarang apapun bentuk mudik termasuk mudik lokal, dan membatasi mudik di wilayah aglomerasi yang sebelumnya dibuka lebar.
Tulisan telaah sebelumnya juga mengingatkan potensi mobilitas yang tinggi di wilayah aglomerasi yang jika dibolehkan yang bisa memicu melonjaknya kasus COVID-19.
Pemerintah pusat dan daerah harus mempunyai satu narasi untuk melarang mudik karena terlalu berisiko membiarkan mobilitas warga di tengah ancaman varian baru corona yang lebih menular.*
Baca juga: Ditinggal mudik, dua gudang plastik terbakar di Cakung
Pewarta: Budhi Santoso
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021