Antisipasi "bencana musiman" di tengah pandemi

11 Mei 2021 12:07 WIB
Antisipasi "bencana musiman" di tengah pandemi
Karhutla yang menghanguskan beberapa hektare hutan/lahan di Kaltara saat musim kemarau September 2019
Bisakah terbayangkan, di kala masyarakat dalam kondisi terpuruk sejak awal 2020 akibat badai virus global COVID-19, kembali harus menderita akibat hantaman bencana nasional kabut asap.

Bisa dikatakan bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) bukan lagi sekedar ancaman namun rutin terjadi setiap kemarau, termasuk diprediksi pada 2021 ini.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksikan bahwa 58 persen wilayah Zona Musim (ZOM) Indonesia akan terlambat memasuki musim kemarau 2021.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam jumpa pers bertajuk Prakiraan Musim Kemarau 2021 dan Langkah Antisipasi Dalam Menghadapi Potensi Kekeringan serta Kebakaran Hutan Lahan, Kamis (25/3/2021), mengatakan beberapa daerah mengalami kemarau berbeda.

Kemarau diperkirakan mulai April, Mei dan Juni dan puncaknya Agustus 2021.

Jika menengok ke belakang, bencana kebakaran hutan diikuti bencana kabut asap di Indonesia berulang kali terjadi dalam beberapa dekade belakangan ini, meski tercatat terparah pada 1982, 1992 dan 1998.

Diduga akibat perubahan iklim, serta kian rentan daya tahan hutan akibat terus dieksploitasi sehingga sejak 2000-an, Karhutla hampir rutin setiap tahun.

Sejak 2000-an kasus Karhutla terjadi rutin setiap tahun meskipun terparah, tercatat pada 2014, 2015, 2016, 2018, 2019 dan 2020.

Baca juga: Polri prioritaskan pencegahan karhutla di 6 polda

Presiden Joko Widodo dalam pengarahannya terkait Karhutla di Istana Merdeka Jakarta, Februari 2020 mengancam akan mencopot pejabat TNI/Polri yang bertugas di suatu daerah jika di daerahnya terjadi kasus kebakaran hutan dan lahan yang terus membesar.

Presiden mengatakan pencopotan jabatan itu merupakan aturan main yang telah diterapkan dan disepakati sejak 2016 dan berlaku sampai kini.

Presiden prihatin Karhutla setiap musim kemarau terus terjadi, bahkan pada 2015 ada 2,5 juta hektare lahan gambut dan hutan hangus terbakar.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kerugian akibat kabut asap 2014 --tiga bulan dari Februari sampai April-- hanya dari Provinsi Riau Rp20 triliun.

Sedangkan kerugian selama 2015 diperkirakan lebih besar lagi karena tersebar pada 2,5 juta Ha meliputi Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.

Sempat turun pada 2017, namun 2018 dan 2019 kasus Karhutla kembali naik.

Bencana Karhutla tidak hanya menimbulkan kerugian nilai ekonomis kayu yang hangus terbakar, juga berdampak sangat luas akibat terhentinya moda transportasi darat, laut dan udara akibat jarak pandang yang membahayakan perjalanan.

Belum kerugian ekologis karena berdasar penelitian, butuh 50 tahun untuk merehabilitasi hutan sekunder yang hangus terbakar atau 100 tahun untuk hutan alam atau primer.

Selain dampak kesehatan --tentunya memperparah kondisi masyarakat yang sudah terpuruk akibat pandemi-- maka hal lain agar bencana Karhutla tidak terjadi lagi adalah nama baik Indonesia di mata dunia

Protes negara tetangga terhadap ekspor bencana kabut asap akan mempertanyakan komitmen Indonesia dalam menjaga lingkungannya, termasuk peran pemerintah dalam "law enforcement" (penegakan hukum).

Hakikatnya, secara suprastruktur, Indonesia sudah memiliki peraturan yang banyak untuk menjerat pelaku Karhutka.

Baca juga: Polri-Kejagung-KLHK tandatangani SKB penegakan hukum terpadu Karhutla

Peraturan itu, antara lain Undang-Undang (UU) No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan UU 39/2014 tentang Perkebunan.

Pertanyaannya, apa upaya pemerintah dalam mengantisipasi "bencana terjadwal" atau rutin terjadi setiap kemarau ini ?

SKB tiga menteri

Tanpa waktu lama, usai BMKG mengumumkan prediksi datangnya kemarau dan ancaman Karhutla, pemerintah segera mengambil langkah strategis.

Langkah pertama adalah penandatangan Surat Keputusan Bersama (SKB) Penegakan Hukum Terpadu Tindak Pidana Kebakaran Hutan dan/atau Lahan antara Polri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kejaksaan di Jakarta, Kamis (6/5/2021).

SKB ditandatangani oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit, dan Jaksa Agung Republik Indonesia ST Burhanuddin yang dihadiri Menkopolhukam Mahfud MD.

SKB bertujuan agar ada koordinasi dan komunikasi lebih baik dalam penegakan hukum Karhutla antara Polri dengan kejaksaan.

Setelah kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan, Polri akan berkoordinasi dengan kejaksaan --terkait saksi ahli yang dilibatkan dan petunjuk yang lain-- guna menghindari bolak balik berkas perkara.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono kepada wartawan mengatakan ada enam daerah rawan Karhutla prioritas Polri, yakni wilayah Polda Riau, Kalbar, Kaltim, Kalteng dan juga Sumsel.

Argo mengakui SKB penting agar koordinasi lebih baik secara kelembagaan.

Secara internal, koordinasi dan komunikasi di tingkat Mabes Polri dan keenam polda serta jajarannya telah mampu menekan kasus karhutla.

Baca juga: Kabupaten OKI buat skema kluster cegah karhutla 2021

Seperti di 2019 dan 2020 jumlah kasus kebakaran hutan baik dari segi jumlah titik api dan luas area yang terbakar turun mencapai 81 persen.

Adanya penurunan titik api dari 2019 dan 2020, termasuk berkat upaya melengkapi peralatan untuk memantau percikan api, sehingga api dapat cepat dikendalikan.

Selain itu juga, ada kreasi berupa aplikasi yang dibuat oleh polda bersama instansi terkait dalam upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

Contohnya aplikasi LembuSwarna di Polda Kalimantan Tengah atau Lancang Kuning di Polda Riau.

Ini merupakan beberapa kreasi polda bersama instansi terkait bagaimana memadamkan secepatnya titik api itu jangan sampai meluas.

Upaya pencegahan dan penegakan hukum secara terpadu ini, kata Argo, sesuai dengan instruksi presiden, dengan harapan tidak ada lagi komplain dari negara tetangga terkait asap yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

Tetap Waspada

Khusus di Polda Kalimantan Utara meski tidak termasuk daerah prioritas terhadap kerawan Karhutla namun tetap waspada.

"Tetap waspada meskipun tidak masuk enam daerah prioritas Polri," kata Kabid Humas Polda Kaltara Kombes Pol Budi Rachmat.

Bentuk kewaspadaan, yakni telah dibentuknya Satgas Karhutla Kaltara.

Meskipun kini di Kaltara masih penghujan --salah satu daerah yang terlambat memasuki kemarau-- tapi Satgas Kalrhutla sudah dibentuk.

Pihaknya lebih mengedepankan giat sosialisasi imbauan untuk tidak membakar hutan.

Jangka pendek selain imbauan, maka agaknya perlu perencanaan dan persiapan matang menghadapi mitigasi Karhutla agar daerah tidak "gagap" atau bingung saat terjadi bencana karena "alasan klasik", yakni keterbatasan dana, sumber daya manusia dan peralatan.

Dan yang terpenting adalah penegakan hukum, mengingat kemarau tidak punya "pemetik api".

Baca juga: Menteri LHK minta antisipasi untuk daerah konvensional rawan karhutla

Pemicu api karena tiga faktor, yakni tersedianya bahan bakar potensial, tersedianya oksigen, dan tersedia pemetik api.

Berbeda dengan bencana awan panas akibat letusan gunung vulkanik atau tsunami akibat gempa tektonik bawah laut, maka bencana Karhutla selain rutin setiap kemarau, juga ada peran manusia di sana sebagai si pemetik api.

Peran manusia itu, yakni para peladang yang ingin menyuburkan lahan dari sisa abu pembakaran.

Kontribusi terbesar peran manusia diperkirakan justru dari aktifitas perusahaan yang memilih biaya murah dengan sistem bumi hangus dalam "land clearing" (istilah teknis pembersihan dan penyiapan lahan sebelum dimulainya aktivitas pertanian, perkebunan, atau penambangan atau pembangunan suatu proyek konstruksi)

Alasan utama "land clearing" dengan cara dibakar adalah karena lebih mudah, biaya murah, dan dianggap meningkatkan kesuburan tanah.

Lihat saja perbandingannya, jika menggunakan "land clearing" secara manual maka butuh biaya puluhan juta rupiah untuk membuka lahan satu hektare, yakni alokasi dana untuk sewa alat berat dan operatornya.

Sedangkan sistem bakar, hanya menyiapkan beberapa honor orang suruhan dan beberapa botol minyak tanah sudah bisa melumat puluhan hingga ratusan hektare lahan secara mudah dan murah.

Melihat perbandingan begitu kontras, maka tampaknya tidak hanya mengimbau namun perlu tindakan tegas karena pihak perusahaan pasti memanfaatkan peluang kemudahan dan biaya murah itu.

Begitu besar asa masyarakat agar Karhutla pada 2021 jangan sampai terjadi.

Berbagai sektor sudah tiarap dihantam pandemi COVID-19, apakah harus ditambah lagi dengan derita dan nestapa akibat bencana nasional kabut asap ?
 

Pewarta: Iskandar Zulkarnaen
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021