Para pemohon, yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan, telah mengajukan permohonan itu ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Senin.
Tim Advokasi, yang terdiri dari Imparsial, KontraS, Yayasan Kebajikan Publik Jakarta, PBHI, LBH Jakarta, LBH Pers, serta beberapa individu yaitu Ikhsan Yosarie, Gustika Fardani Jusuf, dan Leon Alvinda Putra, berpendapat UU PSDN, yang diantaranya mengatur pembentukan komcad, bermasalah secara hukum serta melanggar hak asasi manusia (HAM).
Setidaknya, ada sejumlah pasal dalam UU PSDN yang dianggap bermasalah oleh para pemohon, yaitu Pasal 4 ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81, dan Pasal 82, kata peneliti dari Imparsial Husein Ahmad saat jumpa pers secara virtual yang diikuti di Jakarta, Senin.
Menurut para pemohon, masalah substansial dalam pasal-pasal itu, antara lain terkait definisi mengenai ancaman keamanan pertahanan negara, penetapan komcad yang juga menyasar sumber daya alam dan sarana prasarana di samping warga negara, aturan mengenai sanksi pidana, dan penggunaan hukum militer pada anggota komcad yang merupakan masyarakat sipil.
Ikhsan Yosarie, salah satu pemohon dan peneliti SETARA Institute, menjelaskan bahwa pemaknaan terhadap kewajiban bela negara tidak boleh diartikan sebagai wajib militer.
Baca juga: Kemhan sebut Komcad perlu diperkuat bersamaan modernisasi alutsista
“Konstitusi sudah menjamin tiap-tiap warga negara terlibat dalam usaha membela negara. Bagi saya, keikutsertaan mereka (dalam bela negara, Red) tidak lantas dimonopoli-tafsirkan jadi militeristik,” kata Ikhsan.
Oleh karena itu, ia berpendapat bela negara seharusnya disesuaikan dengan profesi masing-masing warga negara.
“Saling support (antara sipil dan militer, Red) tidak dalam bentuk penyamaan, tetapi itu (bela negara, Red) dapat dilakukan lewat profesinya masing-masing,” kata dia menambahkan.
Dalam kesempatan itu, Ikhsan mengatakan UU PSDN, yang menjadi dasar rekrutmen komponen cadangan, tidak memberi kesempatan adanya penolakan hati nurani (conscientious objector).
Ketentuan terkait penolakan hati nurani jadi penting karena tidak semua warga negara Indonesia meyakini bahwa perang adalah langkah terbaik untuk menyelesaikan konflik.
Pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (2), Pasal 79, Pasal 81, dan Pasal 82 UU PSDN mengatur secara ketat dan rinci mengenai sumber daya alam dan sumber daya buatan sebagai komponen cadangan, tetapi ketentuan tersebut tidak melindungi hak properti dan hak untuk menolak atas alasan hati nurani para pemilik properti/sarana yang nantinya dapat ditetapkan sebagai komcad oleh pemerintah, kata para pemohon.
Baca juga: Pengamat sebut pembentukan Komcad dapat tangkal aksi radikalisme
“[....] Sehingga itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar prinsip conscientious objection bagi pemilik atau pengelola sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana pasarana lain, dan oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945,” kata Tim Advokasi.
Sementara itu, terkait sanksi pidana, para pemohon meyakini pasal dalam UU PSDN yang menggunakan Hukum Militer untuk anggota komcad tidak tepat, karena itu bertentangan dengan prinsip-prinsip persamaan di muka hukum sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dalam kesempatan yang sama, para pemohon tidak hanya meminta Majelis Hakim membatalkan pasal-pasal bermasalah dalam UU PSDN, tetapi juga menerbitkan putusan sela yang menyatakan implementasi UU PSDN, khususnya terkait rekrutmen komcad ditunda selama beleid itu masih dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Menilik beda program Komcad dan wamil di Korea Selatan
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021