Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi kembali meminta Uni Eropa (EU) agar tidak diskriminatif terhadap produk kelapa sawit Indonesia, guna mempercepat pemulihan ekonomi dari dampak pandemi.
“Permintaan Indonesia sederhana, agar kelapa sawit Indonesia diperlakukan secara adil,” kata Retno dalam pernyataan pers virtual, usai bertemu dengan Perwakilan Tinggi EU untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Josep Borrell di Jakarta, Rabu.
Dalam upaya mendorong kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan antara kedua pihak, Retno menegaskan bahwa pemerintah Indonesia berkomitmen menghasilkan kelapa sawit secara berkelanjutan dan terus memperkuat sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
“Saya sampaikan, kerja sama ekonomi dan perdagangan yang adil, tidak diskriminatif, dan terbuka akan membantu percepatan pemulihan ekonomi,” tutur dia.
Perdagangan Indonesia-EU diwarnai perselisihan soal minyak kelapa sawit pada 2019, setelah blok itu membuat kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation yang disebut akan membatasi akses masuk produk-produk bahan bakar hayati yang dinilai tidak bersifat ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Di bawah aturan EU tentang energi terbarukan itu, penggunaan bahan bakar berbasis minyak sawit akan dihapuskan pada 2030 karena minyak sawit telah diklasifikasikan oleh blok tersebut sebagai penyebab deforestasi yang berlebihan sehingga tidak dapat lagi dianggap sebagai bahan bakar transportasi yang dapat diperbarui.
Meskipun demikian, perwakilan tinggi EU Josep Borrell menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada larangan impor minyak sawit di Eropa. Bahkan ia mengklaim bahwa impor minyak sawit di Eropa meningkat sebesar 26 persen pada 2020.
“Artinya tidak ada larangan, hanya masalah keberlanjutan yang harus kita selesaikan bersama,” ujar dia.
Mengakui bahwa isu sawit telah membahayakan hubungan EU dan Indonesia, Borrell menegaskan bahwa pihaknya siap bekerja sama untuk mencari solusi atas masalah tersebut.
“Saya sangat menyadari pentingnya kelapa sawit untuk industri dan masyarakat Indonesia, juga untuk orang-orang yang telah keluar dari kemiskinan dan kita harus mencari solusi yang dapat memperhatikan misi keberlanjutan dan pembangunan. Kami akan bekerja sama untuk melakukannya,” kata Borrell.
Minyak sawit merupakan salah satu komoditas terpenting dalam perdagangan luar negeri Indonesia. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memperkirakan pendapatan devisa dari minyak sawit dapat mencapai hingga 21 miliar dolar AS (sekitar Rp298,2 triliun) pada 2020.
Untuk melawan kebijakan EU yang dinilai diskriminatif, Indonesia sejak 2019 telah menyampaikan gugatan mengenai isu sawit di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), bersama dengan sesama produsen minyak sawit yaitu Malaysia.
Dalam perkembangannya, pemerintah Malaysia pada Senin (31/5) mengatakan bahwa WTO menyetujui permintaan dari Kuala Lumpur untuk membentuk panel yang akan memeriksa peraturan EU tentang pembatasan penggunaan bahan bakar nabati dari minyak sawit.
Baca juga: Isu sawit jadi fokus pemungutan suara tentang perdagangan Swiss-RI
Baca juga: Isu sawit Indonesia-EU, Hongaria dukung perlakuan yang adil
Baca juga: Dubes Uni Eropa: Tidak ada larangan impor minyak sawit Indonesia
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2021