Anggota Komisi VII DPR Mulyanto menyoroti penggunaan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) sebagai dasar untuk memberikan subsidi listrik pada 2022.Kalau mau mengoreksi atau verifikasi data, harusnya dengan set data yang lebih baik. Atau lakukan validasi langsung via pemerintah daerah,
Mulyanto dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu, menyebutkan penggunaan DTKS belum tentu lebih baik karena validitas datanya masih dipertanyakan, ehingga DTKS belum tentu cocok dijadikan sebagai acuan penyaluran subsidi listrik.
"Kalau mau mengoreksi atau verifikasi data, harusnya dengan set data yang lebih baik. Atau lakukan validasi langsung via pemerintah daerah," katanya.
Baca juga: APBN lagi sulit, DPR minta subsidi listrik tepat sasaran
Menurut dia, berbagai hal tersebut esensial untuk dilakukan agar rakyat miskin yang menerima subsidi listrik dan bukan orang yang mampu malah menerima subsidi listrik tersebut.
Ia menegaskan bahwa pihaknya sangat mendukung pemberian subsidi yang tepat sasaran bagi mereka yang tidak mampu karena berbagai anggaran subsidi yang telah digulirkan masih dibutuhkan masyarakat.
"Apalagi kondisi pandemi COVID-19 belum berakhir dan ekonomi masyarakat belum pulih," ujarnya.
Mulyanto mengatakan tidak sepakat dengan pandangan bahwa subsidi untuk masyarakat itu hanya pemborosan sehingga secara bertahap harus dihapuskan.
Menurutnya, justru sebaliknya saat ini pemerintah perlu memberikan pemihakan kepada mereka yang tidak mampu, yakni mereka yang terpinggirkan akibat proses pembangunan yang belum ideal.
"Sesuai dengan Sila Kelima Pancasila, pembangunan mestinya mampu memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," ucapnya.
Baca juga: Subsidi listrik 2022 diusulkan naik jadi Rp61,83 triliun
Untuk itu, Mulyanto tidak setuju penggunaan basis data dari DTKS sebagai dasar pemberian subsidi listrik karena catatan dari BPK dan KPK terkait DTKS ini sangat krusial. BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II/2019 menyimpulkan bahwa DTKS yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial kurang akurat untuk dijadikan dasar penyaluran bansos.
Sementara itu KPK menilai DTKS yang berdasar pada NIK (Nomor Induk Kependudukan) tidak akurat sebagai dasar penyaluran bansos karena tidak semua orang miskin memiliki NIK.
Selain itu, berdasarkan penelitian KPK, terdapat 16 juta data dalam DTKS yang tidak sesuai dengan NIK. Terdapat data ganda sekitar 1 juta serta ditemukan data orang yang telah meninggal sebanyak 234 ribu.
Sebelumnya, Kementerian ESDM mengusulkan subsidi listrik dalam RAPBN 2022 mencapai Rp61,83 triliun atau naik dari APBN 2021 sebesar Rp59,26 triliun.
"Usulan subsidi listrik itu dengan asumsi nilai tukar Rp14.450 per dolar AS, ICP (harga minyak mentah Indonesia) 60 dolar AS per barel, dan inflasi tiga persen," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (2/6).
Baca juga: Memperbaiki DTKS agar penyaluran bansos tepat sasaran
Menteri ESDM mengatakan pada 2022, subsidi listrik diberikan kepada golongan yang berhak, yaitu seluruh pelanggan rumah tangga daya 450 VA dan rumah tangga yang masuk data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) daya 900 VA. Menurut dia, jika data golongan pelanggan 450 VA dari DTKS dipisahkan, subsidi listrik turun menjadi Rp39,5 triliun.
"Mengacu pada rekomendasi BPKP serta KPK, apabila dilakukan evaluasi pemisahan pelanggan 450 VA yang tidak masuk DTKS, subsidi listrik 2022 bisa diturunkan menjadi Rp39,5 triliun," katanya.
Menteri ESDM juga memaparkan dengan alokasi Rp59,26 triliun, hingga April 2021, realisasi subsidi listrik mencapai Rp22,10 triliun, terdiri atas Rp17,36 triliun subsidi untuk 25 golongan pelanggan; sebesar Rp4,67 triliun diskon golongan rumah tangga 450 VA dan 900 VA tidak mampu; dan Rp66,00 miliar diskon golongan bisnis 450 VA dan industri 450 VA.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021