Aktivitas pengeboran geothermal sebagai sumber energi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Kabupaten Lebong, Bengkulu, dikhawatirkan dapat memicu terjadinya gempa bumi darat, mengingat lokasi eksplorasi tepat berada di atas Patahan Sumatera.
Direktur Yayasan Genesis Bengkulu Uli Arta Siagian mengatakan Patahan Sumatera yang terbentang sepanjang 1.900 kilometer ini secara alami saja bisa menyebabkan gempa bumi, apalagi ketika ditambah adanya aktivitas pengeboran panas bumi.
"Ketika dia dipicu lagi dengan aktivitas ekstraksi yang sampai pada titik patahan, maka dia bisa mempercepat gempa bumi itu. Dalam beberapa catatan di banyak tempat gempa yang terjadi memang kecil di bawah magnitudo 5, tetapi intensitasnya tinggi," kata Uli di Bengkulu, Jumat.
Data BMKG menyebutkan Patahan Sumatera melewati Provinsi Bengkulu dengan tiga segmen yakni Segmen Ketahun, Segmen Musi, dan Segmen Manna.
Segmen Ketahun melewati wilayah Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Lebong dan berujung di Kabupaten Rejang Lebong. Sedangkan Segmen Musi melewati Rejang Lebong, Kepahiang sampai perbukitan daerah Seluma
Untuk Segmen Manna membentang dari daerah Kabupaten Seluma, Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Kaur dan daerah perbukitan antara Provinsi Lampung dan Sumatera Selatan.
Sebagai lembaga yang peduli terhadap isu lingkungan hidup, Yayasan Genesis Bengkulu telah melakukan kajian terkait ancaman gempa bumi di lokasi PLTP Lebong yang merupakan proyek milik PT Pertamina Geothermal Energy (PGE).
Menurut Uli, aktivitas pengeboran panas bumi ini akan menurunkan kohesivitas atau daya ikat batuan sehingga menyebabkan fracking (rekahan) yang kemudian memicu terjadinya gempa bumi darat.
Fracking adalah singkatan dari hydraulic fracturing, yaitu sebuah cara yang dipakai dalam ekstrasi energi geothermal dan gas untuk memperbesar permeabilitas atau kemampuan melakukan fluida batuan dengan tujuan meningkatkan nilai keekonomisan sebuah lapangan pembangkit geothermal.
Injeksi fluida ke dalam reservoir atau batuan sarang kemudian akan menekan reservoir sehingga mengalami pergerakan (slip) karena gaya gesek statis terlampaui.
"Terjadinya slip pada batuan adalah salah satu kunci terjadinya gempa bumi itu," ucap Uli.
Dari 247 ribu hektare lahan yang di kavling untuk proyek PLTU itu sebagian besar berada di kawasan hutan. Proyek itu membentang di empat kabupaten di Bengkulu yakni Kabupaten Lebong dengan luas izin 130 ribu hektare.
Kemudian Kabupaten Bengkulu Utara seluas 95 ribu hektare, Kabupaten Rejang Lebong seluas 20 ribu hektare, dan kabupaten Bengkulu Tengah seluas 15 ribu hektare.
PT PGE sendiri memiliki tiga Wilayah Kerja Pengusahaan (WKP) di Kabupaten Lebong dengan potensi daya listrik mencapai 1.000 MW. WKP tersebut berlokasi di Ulu Lais, Bukit Daun dan Tambang Sawah.
Uli menyebut salah satu diantaranya yaitu Wilayah Kerja Pengusahaan (WKP) Hulu Lais yang digarap PGE ini luasnya sebanding dengan tiga kali lipat luas Negara Singapura.
Celakanya, di sekitar area proyek tersebut ada banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya dengan bercocok tanam seperti sawah, kopi dan usaha pertanian lainnya.
Baca juga: PT Geo Dipa sosialiasikan PLTP Patuha 2 kepada kelompok perempuan
Kerusakan lingkungan
Pada April 2016 lalu, bencana tanah longsor terjadi di kawasan tambang PT PGE di Bukit Belerang, Desa Taba Anyar, Kecamatan Lebong Selatan, Kabupaten Lebong. Tanah longsor ini menimbun kamp pekerja dan warung yang berada di lokasi kejadian. Bencana ini menyebabkan korban meninggal sebanyak enam orang.
Kemudian, banjir dan longsor yang diduga akibat proyek panas bumi ini juga terjadi pada 2018 lalu. Material batu dan pasir dari wilayah hulu, tepat di wilayah proyek panas bumi, menyapu lahan persawahan milik warga. Sekitar 20 hektare sawah hingga saat ini tidak lagi bisa digunakan.
"Tiga hektar sawah milik saya tidak lagi bisa dikelola, sejak terkena longsoran bebatuan dan pasir dari padang beni apok," kata warga yang tinggal di sekitar lokasi proyek PLTP Cucun Masyudi. Padang beni apok adalah bahasa lokal yang artinya tumpukan pasir yang tidak lagi bisa dipakai.
Cucun menyebut sebelum adanya proyek pembangkit listrik itu, warga bisa bertani dengan aman tanpa ada kekhawatiran terjadinya longsor. Sebab, tumpukan pasir yang menyapu area persawahan warga dibentengi oleh Bukit Nipis.
Saat ini benteng alami itu telah hancur karena Bukit Nipis terus dikeruk untuk proyek panas bumi. Kini Cucun tidak lagi memiliki sawah. Tiga hektare sawah yang menjadi warisan keluarganya secara turun-temurun hancur tersapu bersih material pasir dan batuan.
"Biasanya setiap panen bisa mendapatkan 200 karung beras dari sawah miliknya. Sekarang, kami tidak menghasilkan beras lagi dan saya menjadi buruh upahan di kebun milik orang," kata Cucun.
Dia mengaku hingga kini pemerintah maupun pihak perusahaan tidak pernah bertanggungjawab atas kehancuran sawah miliknya.
Keberadaan proyek panas bumi di kawasan hutan yang menjadi hulu dari sungai yang merupakan sumber irigasi untuk mengaliri sawah milik masyarakat telah menyebabkan banyak sawah masyarakat rusak.
Masyarakat kian merugi karena hasil panen terus berkurang dan bahkan sampai ada yang gagal panen.
"Air dari wilayah hulu dimana geothermal beroperasi sudah tercampur belerang, belerang itulah yang membuat padi-padi mati," kata kata warga desa lainnya, Jimmi (15).
Menurut Uli, pencemaran air ini merupakan dampak buruk dari aktivitas ekstraksi panas bumi. Pencemaran air terjadi karena larutan hidrothermal mengandung kontaminan seperti arsenik, antimon, dan boron.
Dari semua yang telah dialami masyarakat di sekitar lokasi pengeboran panas bumi di Kabupaten Lebong, Uli menyebut PLTP yang selama ini dikampanyekan sebagai energi yang ramah lingkungan terbantahkan.
Baca juga: Dirjen ESDM: Aspek sosial di Sorik Marapi telah ditangani dengan baik
Target segera beroperasi
Belum lama ini, Komisi III DPRD Provinsi Bengkulu menggelar rapat dengar pendapat bersama pihak PT. PGE. Rapat itu membicarakan progres pengerjaan proyek PLTP di Kabupaten Lebong.
Anggota Komisi III DPRD Provinsi Mohamad Gustiadi mengatakan dalam rapat tersebut perusahaan plat merah itu melaporkan jika progres pengerjaan proyek telah mencapai 80 persen.
Sebanyak 24 sumur yang nantinya bakal memutar turbin sudah selesai dikerjakan. Sedangkan untuk 10 persen pengerjaan lainnya akan dilakukan PT. PLN.
Jika mengacu kesepakatan awal pada 2006 lalu, PLTP ini ditargetkan dapat beroperasi tahun ini. Namun, dengan persiapan yang ada saat ini, Gustiadi memperkirakan target itu akan molor hingga 2024.
"Kemungkinan PT. PGE terdapat kendala, setidak-tidaknya tahun 2024 mendatang baru bisa beroperasi," ucapnya.
Menurut Gustiadi, dengan beroperasinya PLTP ini Kabupaten Lebong akan menjadi lumbung energi listrik di wilayah Sumatera, karena selain PLTP, daerah ini memiliki enam pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dan empat diantaranya sudah menghasilkan listrik diantaranya PLTA Tes, PLTA Turan Lalang, PLTA Ladang Palembang dan PLTA Tunggang.
Di sisi lain, Uli Siagian menilai keberadaan banyaknya pembangkit listrik di Bengkulu tidak serta-merta memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Distribusi pembangkit listrik seperti PLTP dan PLTU yang sedang dikerjakan saat ini hanya untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi industri besar di luar Bengkulu.
"Daerah penghasil listrik mendapat dana bagi hasil, jumlahnya sedikit, tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan," kata Uli.
Para aktivis peduli lingkungan hidup di Bengkulu sejak jauh-jauh hari sudah mengingatkan pemerintah daerah akan bahaya dan ancaman bencana yang muncul akibat ambisi eksploitasi sumber daya alam untuk memancarkan energi listrik.
Hingga saat ini kampanye energi bersih terus digaungkan dengan harapan pemerintah bisa menyelaraskan antara kebijakan untuk pertumbuhan ekonomi dan kebijaksanaan memelihara serta menjaga lingkungan.*
Baca juga: Kementerian ESDM jelaskan kejadian kebocoran gas Sorik Marapi ke DPR
Pewarta: Carminanda
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021