Muhammad Burdabi Ahmad dari Rumah Anggrek Vita Orchids sebetulnya sudah hadir secara daring sebelum pandemi, langkah yang jadi modal bertahan ketika pandemi melanda.
Baca juga: Mereka yang bangkit dari pandemi COVID-19
“Selama pandemi banyak orang mencari kesibukan lain agar tidak jenuh di rumah saja, salah satunya dengan merawat tanaman hias. Para pelanggan yang mengenal Rumah Anggrek Vita Orchids dari video-video tips perawatan anggrek yang saya unggah di YouTube akhirnya banyak memesan anggrek dari saya dan pengirimannya hingga ke seluruh Indonesia,” jelas Debi, dikutip dari keterangan resmi, Sabtu.
Rumah Anggrek Vita Orchids didirikan pada tahun 2016 di Kendal, Jawa Tengah. Awalnya, Debi berkarir sebagai sales person di industri otomotif. Berkali-kali pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, ia mulai memikirkan cara lain untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri. Pada tahun 2016, ia mulai menyukai tanaman anggrek dan memutuskan untuk bertekun dalam membudidayakan dan memasarkan anggrek, namun tetap bekerja sebagai sales person.
Perjalanan bisnis di dunia anggrek tidak semulus yang dibayangkan pria berusia 41 tahun ini. Persaingan ketat dan tidak stabilnya harga anggrek menjadi tantangan yang dihadapinya. Saat itu, ia terus mencari cara agar mendapatkan pelanggan di antara para pemain lama yang sudah lebih lihai dalam memasarkan dan menggaet pelanggan.
Baca juga: Gernas BBI perkuat "branding" artisan lokal melalui platform digital
Pada tahun 2019, ia memutuskan berhenti bekerja dan fokus mengembangkan bisnisnya. Saat itulah ia mendapatkan referensi dari sesama pelaku UMKM untuk mengikuti pelatihan Gapura Digital. Pelajaran paling berharga yang ia dapatkan dari kelas tersebut adalah pemanfaatan Profil Bisnis (sebelumnya dikenal sebagai Google Bisnisku) dan YouTube untuk kanal promosi usahanya.
Setelah mengikuti kelas tersebut, ia langsung membuat akun Profil Bisnis. Hasilnya, mulai ada pelanggan yang melihat tanaman-tanaman hiasnya di akun Google dan memudahkan pelanggan menemukan lokasi tokonya. Tetapi, yang lebih menarik baginya adalah pemanfaatan YouTube sebagai kanal promosi.
“Saya aktif membagikan tips perawatan anggrek di akun YouTube Rumah Anggrek Vita Orchids dan ternyata sangat bermanfaat untuk membantu saya mempromosikan tanaman hias melalui audio visual. Di YouTube, saya membagikan cara merawat anggrek, jenis-jenis anggrek, dan program promosi penjualan yang sedang berlangsung. Hasilnya pelanggan lebih tertarik membeli tanaman hias di tempat saya karena sudah mengetahui cara perawatannya terlebih dahulu melalui video yang diunggah,” cerita Burdabi.
Pemanfaatan YouTube untuk mempromosikan Rumah Anggrek Vita Orchids membuahkan hasil yang menakjubkan. Jika sebelumnya Burdabi hanya mendapat omzet kotor Rp3-9 juta per bulan, kini ia berhasil mengumpulkan omzet hingga ratusan juta rupiah per bulan. Bahkan, ia bisa memiliki aset berupa tanaman hias senilai 1 miliar rupiah dalam setahun. Saat ini, Debi dibantu oleh 15 orang karyawan untuk melayani pesanan dari pelanggan.
Baca juga: Wapres dorong UMKM pasarkan produk secara daring
Beda cerita dengan Cokorda Istri Julyana Dewi atau akrab disapa Yana yang membangun usaha kerajinan tangan Cyn Bali pada 2015. Dia fokus pada aksesori atau perhiasan berbahan dasar perak, juga memadupadankan perhiasan perak untuk dijadikan ornamen tas kulit.
Berlokasi di Bali yang sangat mengandalkan sektor pariwisata untuk roda perekonomian, Yana turut merasakan dampak menurunnya jumlah wisatawan selama pandemi. Satu-satunya toko Cyn Bali yang berlokasi di Monkey Forest, Ubud terpaksa tutup sementara. Padahal, sebelum pandemi pelanggannya merupakan wisatawan yang datang dari berbagai daerah, seperti Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Mereka mengetahui usaha peraknya dari Profil Bisnis dan Google Maps.
Baca juga: Menkominfo: Jaringan 5G jadi tulang punggung transformasi digital
Tak hanya itu, kesulitan lain yang dialaminya yaitu karena kegiatan atau acara spesial yang seringkali menggunakan aksesori atau perhiasan buatannya berkurang, hal ini berdampak pada pesanan yang juga ikut menurun. Berbekal pengetahuan yang ia dapat dari pelatihan Women Will, Yana kini mengandalkan penjualan produknya secara online baik di marketplace maupun media sosial.
“Google sangat membantu dalam mengembangkan bisnis saya. Sebelum pandemi saya terbantu dengan Profil Bisnis dan Google Maps agar orang dapat dengan mudah mencari lokasi toko saya. Di masa pandemi, saya lebih banyak lagi mencoba memanfaatkan Google Drive agar tetap terhubung dengan tim. Melalui Google Drive, saya bisa membagikan sekaligus mengedit data dan foto-foto dengan tim. Selain itu, saya juga menggunakan Google Sheets untuk memudahkan mengatur stok dan pesanan,” cerita Yana.
Perempuan kelahiran Denpasar 30 tahun lalu ini juga terus melakukan inovasi dan memperbarui pengetahuannya tentang pemasaran, agar Cyn Bali tetap maju meski hanya dipasarkan secara online.
“Saya mencoba untuk tetap berkreasi dengan membuat desain-desain yang lebih simple namun unik dan dalam ukuran yang lebih kecil. Tujuannya adalah agar harga dari Cyn Bali masih terjangkau dan dapat bersaing. Selain itu saya juga terus mengupdate pengetahuan dan ilmu saya agar bisnis ini tetap bisa bertahan., salah satunya belajar materi-materi yang ada di Google Primer karena dikemas secara singkat dan menjadi mudah dipahami. Saya juga selalu mengikuti tren yang tengah diminati melalui Google Trends,” pungkasnya.
Baca juga: Menkominfo: Infrastruktur fondasi percepatan transformasi digital
Baca juga: YouTube sediakan dana untuk kreator video pendek
Baca juga: YouTube raup 6 miliar dolar AS hanya dari iklan
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021