• Beranda
  • Berita
  • Studi IPEN soroti ekspor limbah plastik potensi cemari makanan

Studi IPEN soroti ekspor limbah plastik potensi cemari makanan

23 Juni 2021 12:30 WIB
Studi IPEN soroti ekspor limbah plastik potensi cemari makanan
Arsip foto - Petugas memperlihatkan kontainer berisi limbah plastik di Terminal Peti Kemas Koja, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (18/9/2019). Pemerintah Indonesia memulangkan sembilan kontainer berisi limbah plastik ke Australia yang merupakan hasil penindakan terhadap tiga perusahaan penerima fasilitas kawasan berikat di Tangerang, Banten. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/nz/pri.
Studi yang dilakukan International Pollutants Elimination Network (IPEN) menemukan bahan kimia beracun dalam ekspor limbah plastik dari negara-negara maju berpotensi mencemari makanan di negara-negara berkembang.

Dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Rabu, menyebut penelitian itu dilakukan dengan lembaga swadaya masyarakat di 14 negara termasuk Indonesia yang mengumpulkan telur ayam kampung di sekitar fasilitas pembuangan sampah plastik.

Telur-telur itu kemudian diukur apakah terkontaminasi dioksin dan bahan kimia beracun lainnya yang dikenal sebagai bahan kimia organik persisten (POPs) yang telah dilarang atau sedang dalam proses dilarang secara global melalui Konvensi Stockholm.

"Laporan ini menegaskan bahwa kerugian yang disebabkan oleh ekspor limbah plastik tidak terbatas pada sampah dan polusi yang terlihat, tetapi berisiko membahayakan kesehatan manusia yang disebabkan oleh kontaminasi rantai makanan di negara-negara pengimpor.

Baca juga: Plastik masih menjadi persoalan lingkungan di Indonesia

Baca juga: Kurangi limbah plastik, Klean Kanteen ciptakan produk ramah lingkungan


Aditif kimia beracun dan zat paling berbahaya di dunia benar-benar mengalir ke rantai makanan di negara-negara yang tidak mampu mencegahnya," ujar Lee Bell, Penasihat Kebijakan POPs IPEN.

Laporan tersebut juga menemukan bahwa tingkat dioksin dan Poly Chlorinated Biphenyl (PCB) dalam telur di beberapa lokasi sangat tinggi sehingga penduduk tidak dapat memakan satu telur pun tanpa melebihi batas aman untuk bahan kimia ini sebagaimana yang ditetapkan di Uni Eropa (UE).

Beberapa hal lain yang juga ditemukan dalam laporan itu yakni telur yang dianalisis mengandung beberapa bahan kimia paling beracun yang sudah sangat familiar, banyak diantaranya dilarang atau diatur oleh hukum internasional, termasuk dioksin, dan bahan tambahan kimia PBDEs, PCBs, dan SCCPs.

Selain itu, di hampir setiap tempat sampah plastik terbuka di mana sampel telur diambil, kadar dioksin melebihi batas konsumsi aman UE dengan di beberapa lokasi, ambang telur melebihi batas aman hingga sepuluh kali lipat.

Penelitian itu juga menemukan tingkat polybrominated diphenyl ethers (PBDE) maksimum dalam sampel telur yang diambil di beberapa tempat dekat pembuangan sampah plastik sebanding dengan tempat sampah elektronik yang paling terkontaminasi di dunia yaitu di Guiyu, Cina.

Untuk salah satu lokasi di Indonesia, tingkat dioksin dalam telur berada pada tingkat yang sama dengan sampel telur di bekas pangkalan Angkatan Udara AS di Vietnam yang sangat terkontaminasi oleh Agen Oranye.

Tingkat POPs yang sangat tinggi terdeteksi juga di lokasi dimana plastik dan sampah elektronik dicampur dan kemudian dibuang dan/atau dibakar untuk memulihkan logam.

Hal itu mengindikasikan bahwa pembakaran campuran sangat sering menyebabkan kontaminasi dioksin yang jauh lebih parah daripada pembakaran sampah secara terbuka di tempat pembuangan umum.

Terkait laporan itu, Penasihat Senior Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati mengatakan bahwa masalah pencemaran limbah plastik juga menjadi tantangan lokal dan global. Bukan hanya masalah sampah domestik yang menjadi tanggungan, namun juga membanjirnya sampah plastik impor dari berbagai negara.

"Sampel dari Indonesia memiliki beberapa tingkat racun tertinggi yang tercatat dalam penelitian ini. Eksportir tidak jujur dan tidak bertanggung jawab mengekspor sampah plastik ke Indonesia dan negara berkembang lainnya, dengan kedok untuk daur ulang yang belum tentu seluruhnya dimanfaatkan dengan benar," ujar Yuyun.*

Baca juga: Penghasil limbah harus bertanggung jawab

Baca juga: KLHK godok peraturan EPR untuk limbah berbahaya dan beracun

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021