Varian COVID-19 Delta, yang mulanya muncul di India, menjadi varian dominan di seluruh dunia dengan penularannya yang tinggi, seperti yang diperingatkan kepala ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pekan lalu.
Dalam wawancara yang disiarkan oleh China Central Television pada Kamis (24/6), Feng Zijian, peneliti sekaligus mantan wakil direktur Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit China, tidak memaparkan penjelasan lebih lanjut.
Tanpa menyebut nama kedua vaksin yang dimaksud, Feng mengatakan vaksin-vaksin itu masuk kategori vaksin nonaktif, yang mengandung virus corona "mati" dan tidak dapat melakukan replikasi pada sel manusia.
Lima dari tujuh vaksin buatan lokal dalam skema vaksinasi massal China merupakan vaksin nonaktif. Jenis itu mencakup vaksin produksi Sinovac Biotech dan Sinopharm yang digunakan di berbagai negara, seperti Brazil, Bahrain, dan Chile.
Varian Delta menyebabkan kemunculan kasus di tiga kota di Provinsi Guangdong, kata pejabat. Di sana, total 170 pasien terkonfirmasi setempat dilaporkan antara 21 Mei-21 Juni.
Belum diketahui pasti berapa banyak dari mereka yang tertular varian Delta.
Sekitar 85 persen dari kasus Guangdong dalam wabah terbaru ditemukan di ibu kota provinsi, Guangzhou.
"Dalam wabah Guangdong ... tidak ada satu pun dari kasus yang sudah divaksin menjadi parah, dan tidak ada kasus parah pada yang divaksin," kata Feng.
Sumber: Reuters
Baca juga: Vaksin AstraZeneca, Pfizer efektif melawan COVID-19 varian Delta
Baca juga: Pakar: Masker dobel dapat cegah penularan COVID-19 varian Delta
Baca juga: Kasus varian COVID Delta Plus di India bertambah menjadi 40
Varian delta COVID-19, masyarakat diminta tetap patuhi 3M, 3T dan vaksinasi
Pewarta: Asri Mayang Sari
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2021