Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja menilai bank-bank konvensional saat ini sudah mulai harus berwawasan seperti bank digital dalam menyediakan produk dan layanan sesuai keinginan nasabahnya.kita sendiri harus memiliki wawasan bahwa kita harus sama seperti bank digital
"Secara ekosistem perbankan digital, ini terlepas apakah untuk spesial bank digital atau untuk bank konvensional yang masuk ke bisnis bank digital seperti kita, kita kan bukan bank digital, tapi kita bulan Juli akan memiliki satu bank BCA digital. Tapi kita sendiri harus memiliki wawasan bahwa kita harus sama seperti bank digital. Kita harus menyediakan berbagai produk sesuai dengan kemampuan dan kesenangan nasabah, yang penting kita harus user friendly," ujar Jahja dalam sebuah seminar daring di Jakarta, Rabu.
Jahja menyampaikan bank konvensional dari sisi nasabah relatif lebih beragam dibandingkan bank digital yang 90 persen nasabahnya merupakan kaum milenial, sehingga perlakuan dan penyediaan layanan untuk nasabah tidak bisa disamakan.
Baca juga: Presdir BCA sebut pasar global tertarik produk UMKM lokal
"Jadi kita sediakan yang terbaru, tapi yang lama tidak bisa ditinggal. Kita masih ada SMS banking, karena ternyata masih ada ribuan yang menggunakan itu. Phone banking, masih ada nasabah yang menggunakan. Mau tidak mau, supaya betul-betul user friendly, harus menyediakan segala-galanya untuk nasabah," kata Jahja.
Selain itu, menurut Jahja, bank juga harus mencoba berkolaborasi dengan fintech untuk memahami bagaimana cara kerja fintech, cara fintech mendapatkan data, cara fintech menyelesaikan permasalahan, dan hal lainnya yang juga dapat menjadi pembelajaran bagi bank.
"Kala ada fintech yang sukses itu tentunya akan menghasilkan suatu profitability kalau pada saat invest dibandingkan pada saat nanti kita mau menikmati keuntungan itu akan ada perbedaan valuation dari fintech company tersebut. Kita sudah jalan lebih dari dua tahun dan sudah ada beberapa fintech yang kita lihat potensi valuationnya naiknya cukup tinggi dibanding pada saat kita invest, di samping kita belajar ilmu dari fintech," ujar Jahja.
Selain itu, bank juga perlu berkolaborasi dengan ekosistem seperti dalam platform Traveloka, Bukalapak , blibli, Tokopedia, tiket.com, Gojek, Shopee, Grab, dan lainnya. Jahja mengatakan, platform tersebut ditujukan untuk berjualan dan jualan itu menjadikan adanya distribusi barang, namun di balik itu ada proses pembayaran.
Baca juga: Blu, bank digital BCA sasar kalangan "digital savvy"
"Di situlah perbankan mengambil bagian. Sebab itu kita melihat untuk payment system, contoh dulu kita terbiasa dengan debit card atau kartu ATM, tapi itu juga bisa dipakai untuk belanja dan ini langsung memotong rekening nasabah tersebut. Sekarang, debit card bisa juga online. Jadi kita bisa menaruh debit card pada platform e-commerce tadi sehingga customer dengan mudahnya tidak perlu menggunakan kartu," ujar Jahja.
Terkait dengan bank digital, BCA sendiri baru saja memperkenalkan layanan bank digitalnya melalui BCA Digital dengan nama "blu" yang akan dirilis pada awal Juli 2021 dan menyasar pasar milenial dan generasi Z yang merupakan digital savvy atau erat dengan dunia digital.
BCA Digital merupakan salah satu anak perusahaan dari BCA yang dulunya bernama Bank Royal Indonesia. BCA Digital memiliki segmen, strategi dan bisnis model yang berbeda, namun tetap bersinergi dengan kanal-kanal yang dimiliki BCA seperti ATM BCA dan call center HaloBCA. BCA Digital menyasar kaum milenial dengan memperluas ekosistem yang sudah dimiliki BCA dan menjadi teknologi inkubator serta mencoba teknologi-teknologi baru.
Baca juga: BCA bukukan laba triwulan I-2021 tumbuh 7 persen
Baca juga: LPEI dapat pendanaan Rp1 triliun dari BCA untuk akselerasi ekspor
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2021